Wednesday, November 7, 2007

fatwa AZZUHAYLI 02


1. MAKRUHNYA SHOLAT DI MASJID YANG DI DEPANNYA ADA KUBURANNYA.
2. BOLEH MENGGUNAKAN AIR MUSTA'MAL? DENGAN NIAT IGHTIROF ATAU MENGAMBIL/NGECLUPKAN TANGAN misalnya.
3. DLL

fatwa AZZUHAYLI 01


TIDAK DISUNNAHKAN MENGANGKAT TANGAN KETIKA KHOTBAH JUM'AT ATAU IDUL FITRI ATAU IDUL ADL-HAA.

Wednesday, October 31, 2007

salafy sesat?

Membaca Sesatnya Salafi, Wahabi dan Khawarij
Oleh: Mukhtar Luthfi

Dalam melihat faktor kemunculan pemikiran untuk kembali kepada pendapat Salaf menurut Imam Ahmad bin Hanbal dapat diperhatikan dari kekacauan pada zaman itu. Sejarah membuktikan, saat itu, dari satu sisi, kemunculan pemikiran liberalisme yang diboyong oleh pengikut Muktazilah, yang meyakini keikutsertaan dan kebebasan akal secara ekstrem serta radikal dalam proses memahami agama. Sedang di sisi lain, munculnya pemikiran filsafat yang banyak diadopsi dari budaya luar agama, menyebabkan munculnya rasa putus asa dari beberapa kelompok ulama Islam, termasuk Ahmad bin Hanbal. Untuk lari dari pemikiran-pemikiran semacam itu, lantas Ahmad bin Hanbal memutuskan untuk kembali kepada metode para Salaf dalam memahami agama, yaitu dengan cara tekstual.

Akhir-akhir ini, di Tanah Air kita muncul banyak sekali kelompok-kelompok pengajian dan studi keislaman yang mengidentitaskan diri mereka sebagai pengikut dan penyebar ajaran para Salaf Saleh.Mereka sering mengatasnamakan diri mereka sebagai kelompok Salafi. Dengan didukung dana yang teramat besar dari negara donor, yang tidak lain adalah negara asal kelompok ini muncul, mereka menyebarkan akidah-akidah yang bertentangan dengan ajaran murni keislaman baik yang berlandaskan al-Quran, hadis, sirah dan konsensus para salaf maupun khalaf.Dengan menggunakan ayat-ayat dan hadis yang diperuntukkan bagi orang-orang kafir, zindiq dan munafiq, mereka ubah tujuan teks-teks tersebut untuk menghantam para kaum muslimin yang tidak sepaham dengan akidah mereka.

Mereka beranggapan, bahwa hanya akidah mereka saja yang mengajarkan ajaran murni monoteisme dalam tubuh Islam, sementara ajaran selainnya, masih bercampur syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul yang harus dijauhi, karena sesat dan menyesatkan. Untuk itu, dalam makalah ringkas ini akan disinggung selintas tentang apa dan siapa mereka. Sehingga dengan begitu akan tersingkap kedok mereka selama ini, yang mengaku sebagai bagian dari Ahlusunnah dan penghidup ajaran Salaf Saleh.

Definisi Salafi jika dilihat dari sisi bahasa, Salaf berarti yang telah lalu.2 Sedang dari sisi istilah, salaf diterapkan untuk para sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ tabi’in yang hidup di abad-abad permulaan kemunculan Islam.3 Jadi, salafi adalah kelompok yang ‘mengaku’ sebagai pengikut pemuka agama yang hidup di masa lalu dari kalangan para sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in. Baik yang berkaitan dengan akidah, syariat dan prilaku keagamaan.4 Bahkan sebagian menambahkan bahwa Salaf mencakup para Imam Mazhab, sehingga salafi adalah tergolong pengikut mereka dari sisi semua keyakinan keagamaannya.5 Muhammad Abu Zuhrah menyatakan bahwa Salafi adalah kelompok yang muncul pada abad keempat hijriyah, yang mengikuti Imam Ahmad bin Hanbal.

Kemudian pada abad ketujuh hijriyah dihidupkan kembali oleh Ibnu Taimiyah.6Pada hakikatnya, kelompok yang mengaku sebagai salafi, yang dapat kita temui di Tanah Air sekarang ini, mereka adalah golongan Wahabi yang telah diekspor oleh pemuka-pemukanya dari dataran Saudi Arabia.Dikarenakan istilah Wahabi begitu berkesan negatif, maka mereka mengatasnamakan diri mereka dengan istilah Salafi, terkhusus sewaktu ajaran tersebut diekspor keluar Saudi. Kesan negatif dari sebutan Wahabi buat kelompok itu bisa ditinjau dari beberapa hal, salah satunya adalah dikarenakan sejarah kemunculannya banyak dipenuhi dengan pertumpahan darah kaum muslimin, terkhusus pasca kemenangan keluarga Saud—yang membonceng seorang rohaniawan menyimpang bernama Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi—atas semua kabilah di jazirah Arab atas dukungan kolonialisme Inggris. Akhirnya keluarga Saud mampu berkuasa dan menamakan negaranya dengan nama keluarga tersebut.

Inggris pun akhirnya dapat menghilangkan dahaga negaranya dengan menyedot sebagian kekayaan negara itu, terkhusus minyakbumi. Sedang pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab, resmi menjadi akidah negara tadi yang tidak bisa diganggu gugat. Selain menindak tegas penentang akidah tersebut, Muhammad bin Abdul Wahab juga terus melancarkan aksi ekspansinya ke segenap wilayah-wilayah lain di luar wilayah Saudi.Sayyid Hasan bin Ali as-Saqqaf, salah satu ulama Ahlusunnah yang sangat getol mempertahankan serangan dan ekspansi kelompok wahabisme ke negara-negara muslim, dalam salah satu karyanya yang berjudul “as-Salafiyah al-Wahabiyah” menyatakan: “Tidak ada perbedaan antara salafiyah dan wahabiyah.

Kedua istilah itu ibarat dua sisi pada sekeping mata uang. Mereka (kaum salafi dan wahabi) satu dari sisi keyakinan dan pemikiran. Sewaktu di Jazirah Arab mereka lebih dikenal dengan al-Wahhabiyah al-Hanbaliyah. Namun, sewaktu diekspor keluar (Saudi), mereka mengatasnamakan dirinya sebagai Salafy.” Sayyid as-Saqqaf menambahkan: “Maka kelompok salafi adalah kelompok yang mengikuti Ibnu Taimiyah dan mengikuti ulama mazhab Hanbali. Mereka semua telah menjadikan Ibnu Taimiyah sebagai imam, tempat rujukan (marja’), dan ketua. Ia (Ibnu Taimiyah) tergolong ulama mazhab Hanbali. Sewaktu mazhab ini berada di luar Jazirah Arab, maka tidak disebut dengan Wahabi, karena sebutan itu terkesancelaan.”


Dalam menyinggung masalah para pemuka kelompok itu, kembali Sayyid as-Saqqaf mengatakan: “Pada hakikatnya, Wahabiyah terlahir dari Salafiyah. Muhammad bin Abdul Wahab adalah seorang yang menyeru untuk mengikuti ajaran Ibnu Taimiyah dan para pendahulunya dari mazhab Hanbali, yang mereka kemudian mengaku sebagai kelompok Salafiyah.” Dalam menjelaskan secara global tentang ajaran dan keyakinan mereka, as-Saqqaf mengatakan: “Al-Wahabiyah atau as-Salafiyah adalah pengikut mazhab Hanbali, walaupun dari beberapa hal pendapat mereka tidak sesuai lagi (dan bahkan bertentangan) dengan pendapat mazhab Hanbali sendiri. Mereka sesuai (dengan mazhab Hanbali) dari sisi keyakinan tentang at-Tasybih (Menyamakan Allah dengan makhluk-Nya), at-Tajsim (Allah berbentuk mirip manusia), dan an-Nashb yaitu membenci keluarga Rasul saw. (Ahlul-Bait) dan tiada menghormati mereka.”

8Jadi, menurut as-Saqqaf, kelompok yang mengaku Salafi adalah kelompok Wahabi yang memiliki sifat Nashibi(pembenci keluarga Nabi saw.), mengikuti pelopornya, Ibnu Taimiyah.Pelopor Pemikiran “Kembali ke Metode Ajaran Salaf”Ahmad bin Hanbal adalah sosok pemuka hadis yang memiliki karya terkenal, yaitu kitab “Musnad”. Selain sebagai pendiri mazhab Hanbali, ia juga sebagai pribadi yang menggalakkan ajaran kembali kepada pemikiran Salaf Saleh. Secara umum, metode yang dipakai oleh Ahmad bin Hanbal dalam pemikiran akidah dan hukum fikih, adalah menggunakan metode tekstual. Oleh karenanya, ia sangat keras sekali dalam menentang keikutsertaan dan penggunaan akal dalam memahami ajaran agama.Ia beranggapan, kemunculan pemikiran logika, filsafat, ilmu kalam (teologi) dan ajaran-ajaran lain—yang dianggap ajaran di luar Islam yang kemudian diadopsi oleh sebagian muslim—akan membahayakan nasib teks-teks agama.

Dari situ akhirnya ia menyerukan untuk berpegang teguh terhadap teks, dan mengingkari secara total penggunaan akal dalam memahami agama, termasuk proses takwil rasional terhadap teks. Ia beranggapan, bahwa metode itulah yang dipakai Salaf Saleh dalam memahami agama, dan metode tersebut tidak bisa diganggu gugat kebenaran dan legalitasnya. Syahrastani yang bermazhab ‘Asyariyah dalam kitab “al-Milal wa an-Nihal” sewaktu menukil ungkapan Ahmad bin Hanbal yang menyatakan: “Kita telah meriwayatkan (hadis) sebagaimana adanya, dan hal (sebagaimana adanya) itu pula yang kita yakini.”9 Konsekuensi dari ungkapan Ahmad bin Hanbal di atas itulah, akhirnya ia beserta banyak pengikutnya—termasuk Ibnu Taimiyah—terjerumus ke dalam jurang kejumudan dan kaku dalam memahami teks agama.


Salah satu dampak konkret dari metode di atas tadi adalah, keyakinan akan tajsim (anthropomorphisme) dan tasybih dalam konsep ketuhanan, lebih lagi kelompok Salafi kontemporer, pendukung ajaran Ibnu Taimiyahal-Harrani yang kemudian tampuk kepemimpinannya dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi.Suatu saat, datang seseorang kepada Ahmad bin Hanbal. Lantas, ia bertanya tentang beberapa hadis. Hingga akhirnya, pertanyaan sampai pada hadis-hadis semisal: “Tuhan pada setiap malam turun ke langit Dunia.”, “Tuhan bisa dilihat.”, “Tuhan meletakkan kaki-Nya ke dalam Neraka.” dan hadis-hadis semisalnya. Lantas ia (Ahmad bin Hanbal) menjawab: “Kita meyakini semua hadis-hadis tersebut. Kita membenarkan semua hadis tadi, tanpa perlu terhadap proses pentakwilan.”

0Jelas metode semacam ini tidak sesuai dengan ajaran al-Quran dan as-Sunnah itu sendiri. Jika diperhatikan lebih dalam lagi, betapa al-Quran dalam ayat-ayatnya sangat menekankan penggunaan akal dan pikiran dalam bertindak.11Begitu juga hadis-hadis Nabi saw. Selain itu, pengingkaran secara mutlak campur tangan akal dan pikiran manusia dalam memahami ajaran agama akan mengakibatkan kesesatan dan bertentangan dengan ajaran al-Quran dan as-Sunnah itu sendiri. Dapat kita contohkan secara singkat penyimpangan yang terjadi akibat penerapan konsep tadi. Jika terdapat ayat semisal “Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arasy.”12 atau seperti hadis yang menyatakan “Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia pada setiap malam.”

13 Lantas, di sisi lain kita tidak boleh menggunakan akal dalam memahaminya, bahkan cukup menerima teks sebagaimana adanya, maka kita akan terbentur dengan ayat lain dalam al-Quran seperti ayat “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.”14 Apakahayat dari surat Thoha tadi berartikan bahwa Allah bertengger di atas singgasana Arasy sebagaimana Ibnu Taimiyah duduk di atas mimbar, atau turun ke langit dunia sebagaimana Ibnu Taimiyah turun dari atas mimbarnya, yang itu semua berarti bertentangan dengan ayat dari surat as-Syuura di atas.Jadi akan terjadi kontradiksi dalam memahami hakikat ajaran agama Islam. Mungkinkah Islam sebagai agama paripurna akan terdapat kontradiksi? Semua kaum muslim pasti akan menjawabnya dengan negatif, apalagi berkaitan dengan al-Quran sebagai sumber utama ajaran Islam.Melihat kelemahan metode dasar yang ditawarkan oleh Ahmad bin Hanbal semacam ini, meniscayakan adanya pengeroposan ajaran-ajaran yang bertumpu pada metode tadi.

Dalam masalah ini, kembali as-Sahrastani mengatakan: “Berbagai individu dari Salaf telah menetapkan sifat azali Tuhan, semisal; sifat Ilmu, Kemampuan (Qudrat) … dan mereka tidak membedakan antara sifat Dzati dan Fi’li. Sebagaimana mereka juga telah menetapkan sifat khabariyah buat Tuhan, seperti; dua tangan dan wajah Tuhan. Mereka tidak bersedia mentakwilnya, dan mengatakan: itu semua adalah sifat-sifat yang terdapat dalam teks-teks agama.

Semua itu kita sebut sebagai sifat khabariyah.” Dalam kelanjutan dari penjelasan mengenai kelompok Salafi tadi, kembali as-Sahrastani mengatakan: “Para kelompok Salafi kontemporer meyakini lebih dari para kelompok Salaf itu sendiri. Mereka menyatakan, sifat-sifat khabari bukan hanya tidak boleh ditakwil, namun harus dimaknai secara zahir. Oleh karenanya, dari sisi ini, merekatelah terjerumus ke dalam murni keyakinan tasybih. Tentu, permasalahan semacam ini bertentangan dengan apa yang diyakini oleh para salaf itu sendiri.”15 Jadi sesuai dengan ungkapan Syahrastani, bahwa mayoritas para pengikut kelompok Salafi kontemporer telah menyimpang dari keyakinan para Salaf itu sendiri. Itu jika kita telaah secara global tentang konsep memahami teks.

Akibatnya, mereka akan terjerumus kepada kesalahan fatal dalam mengenal Tuhan, juga dalam permasalahan-permasalahan lainnya. Padahal, masih banyak lagi permasalahan-permasalahan lain yang jelas-jelas para Salaf meyakininya, sedang pengaku pengikut salaf kontemporer (salafi) justru mengharamkan dengan alasan syirik, bidah, ataupun khurafat. Perlu ada tulisan tersendiri tentang hal-hal tadi, dengan disertai kritisi pendapat dan argumentasi para pendukung kelompok Wahabisme.16Itulah yang menjadi alasan bahwa para pengikut Salafi (kontemporer) itu sudah banyak menyimpang dari ajaran para Salaf itu sendiri,termasuk sebagian ajaran imam Ahmad bin Hanbal sendiri.

17Faktor Munculnya Kelompok SalafiDalam melihat faktor kemunculan pemikiran untuk kembali kepada pendapat Salaf menurut Imam Ahmad bin Hanbal dapat diperhatikan dari kekacauan pada zaman itu. Sejarah membuktikan, saat itu, dari satu sisi, kemunculan pemikiran liberalisme yang diboyong oleh pengikut Muktazilah, yang meyakini keikutsertaan dan kebebasan akal secara ekstrem dan radikal dalam proses memahami agama. Sedang di sisi lain, munculnya pemikiran filsafat yang banyak diadopsi dari budaya luar agama, menyebabkan munculnya rasa putus asa dari beberapa kelompok ulama Islam, termasuk Ahmad bin Hanbal. Untuk lari dari pemikiran-pemikiran semacam itu, lantas Ahmad bin Hanbal memutuskan untuk kembali kepada metode para Salaf dalam memahami agama, yaitu dengan cara tekstual.

Syeikh Abdul Aziz ‘Izzuddin as-Sirwani dalam menjelaskan faktor kemunculan pemikiran kembali kepada metode Salaf, mengatakan: “Dikatakan bahwa penyebab utama untuk memegang erat metode itu—yang sangat nampak pada pribadi Ahmad bin Hanbal—adalah dikarenakan pada zamannya banyak sekali dijumpai fitnah-fitnah, pertikaian dan perdebatan teologis. Dari sisi lain, berbagai pemikiran aneh, keyakinan-keyakinan yang bermacam-macam dan beraneka ragam budaya mulai bermunculan. Bagaimana mungkin semua itu bisa muncul di khasanah keilmuan Islam. Oleh karenanya, untuk menyelamatkan keyakinan-keyakinan Islam, maka ia menggunakan metode kembali ke pemikiran Salaf.”

18 Hal semacam itu pula yang dinyatakan oleh as-Syahrastani dalam kitab al-Milal wa an-Nihal.Fenomena semacam ini juga bisa kita perhatikan dalam sejarah hidup Abu Hasan al-Asy’ari pendiri mazhab al-Asyariyah. Setelah ia mengumumkan diri keluar dari ajaran Muktazilah yang selama ini ia dapati dari ayah angkatnya, Abu Ali al-Juba’i seorang tokoh Muktazilah di zamannya.


Al-Asy’ari dalam karyanya yang berjudul “al-Ibanah” dengan sangat jelas menggunakan metode mirip yang digunakan oleh Ahmad bin Hanbal. Namun karena ia melihat bahwa metode semacam itu terlampau lemah, maka ia agak sedikit berganti haluan dengan mengakui otoritas akal dalam memahami ajaran agama, walau dengan batasan yang sangat sempit. Oleh karenanya, dalam karya lain yang diberi judul “al-Luma’” nampak sekali betapa ia masih mengakui campur tangan dan keturutsertaan akal dalam memahami ajaran agama, berbeda dengan metode Ahmad bin Hanbal yang menolak total keikutsertaan akal dalam masalah itu.

Dikarenakan al-Asy’ari hidup di pusat kebudayaan Islam kala itu, yaitu kota Baghdad, maka sebutanAhlusunnah pun akhirnya diidentikkan dengan mazhabnya. Sedang mazhab Thohawiyah dan Maturidiyah yang kemunculannya hampir bersamaan dengan mazhab Asyariyah dan memiliki kemiripan dengannya, menjadi kalah pamor di mata mayoritas kaum muslimin, apalagi ajaran Ahmad bin Hanbal sudah tidak lagi dilirik oleh kebanyakan kaum muslimin. Lebih-lebih pada masa kejayaan Ahlusunnah, kemunculan kelompok Salafi kontemporer yang dipelopori oleh Ibnu Taimiyah yang sebagai sempalan dari mazhab ImamAhmad bin Hanbal, pun tidak luput dari ketidaksimpatian kelompok mayoritas Ahlusunnah. Ditambah lagi dengan penyimpangan terhadap akidah Salaf yang dilakukan Salafi kontemporer (pengikut Ibnu Taimiyah)—yang dikomandoi oleh Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi—serta tindakan arogan yang dilancarkan para pengikut Salafi tersebut terhadap kelompok lain yang dianggap tidak sependapat dengan pemikiran mereka.

Kecurangan Kelompok SalafiSetiap golongan bukan hanya berusaha untuk selalu mempertahankan kelangsungan golongannya, namun mereka juga berusaha untuk menyebarkan ajarannya. Itu merupakan suatu hal yang wajar. Akan tetapi, tingkat kewajarannya bukan hanya bisa dinilai dari sisi itu saja, namun juga harus dilihat dari cara dan sarana yang dipakai untuk mempertahankan kelangsungan dan penyebaran ajaran golongan itu. Dari sisi ini, kelompok Salafi banyak melakukan beberapa kecurangan yang belum banyak diketahui oleh kelompok muslim lainnya.Selain kelompok Ahlusunnah biasa, kelompok Ahli Tasawwuf dari kalangan Ahlusunnah dan kelompok Syiah (di luar Ahlusunnah) merupakan kelompok-kelompok di luar Wahabi (Salafi) yang sangat gencar diserang oleh kelompok Salafi.

Kelompok Salafi tidak segan-segan melakukan hal-hal yang tidak ‘gentle’ dalam menghadapi kelompok-kelompok selain Salafi, terkhusus Syiah. Menuduh kelompok lain dari saudara-saudaranya sesama muslim sebagai ahli bid’ah, ahli khurafat, musyrikadalah kebiasaan buruk kaum Salafi, walaupun kelompok tadi tergolong Ahlusunnah. Di sisi lain, mereka sendiri terus berusaha untuk disebut dan masuk kategori kelompok Ahlusunnah. Berangkat dari sini, kaum Salafi selalu mempropagandakan bahwa Syiah adalah satu kelompok yang keluar dari Islam, dan sangat berbeda dengan pengikut Ahlusunnah. Mereka benci dengan usaha-usaha pendekatan dan persatuan Sunnah-Syiah, apalagi melalui forum dialog ilmiah. Mereka berpikir bahwa dengan mengafirkan kelompok Syiah, maka mereka akan dengan mudah duduk bersama dengan kelompok Ahlusunnah.


Padahal realitanya tidaklah semacam itu. Karena mereka selalu menuduh kelompok Ahlusunnah sebagai pelaku Bid’ah, Khurafat, Takhayul dan Syirik. Mereka berpikir, sewaktu seorang pengikut Ahlusunnah melakukan ziarah kubur, tahlil, membaca salawat dan pujian terhadap Nabi, istighotsah, bertawassul dan mengambil berkah (tabarruk) berarti ia telah masuk kategori pelaku syirik atau ahli bid’ah yang telah jelaskonsekuensi hukumnya dalam ajaran Islam.Cara itu juga yang mereka lakukan terhadap para pengikut tasawuf dan tarekat yang banyak ditemui dalam tubuh Ahlusunnah sendiri, khususnya di Indonesia.

Segala bentuk makar dan kebohongan untuk menghadapi rival akidahnya merupakan hal mubah di mata pengikut Salafi (Wahabi), karena kelompok Salafi masih terus beranggapan bahwa selain kelompoknya masih dapat dikategorikan pelaku syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul. Perlakuan mereka terhadap kaum muslimin pada musim haji merupakan bukti yang tidak dapat diingkari.Yang lebih parah dari itu, para pendukung kelompok Salafi—yang didukung dana begitu besar—berani melakukan perubahan pada kitab-kitab standar Ahlusunnah, demi untuk menguatkan ajaran mereka, yang dengan jelas tidak memiliki akar sejarah dan argumentasi (tekstual dan rasional) yang kuat.

Dengan melobi para pemilik percetakan buku-buku klasik agama yang menjadi standar ajaran—termasuk kitab-kitab hadis dan tafsir—mereka berani mengeluarkan dana yang sangat besar untuk mengubah beberapa teks (hadis ataupun ungkapan para ulama) yang dianggap merugikan kelompok mereka.Kita ambil contoh apa yang diungkapkan oleh Syeikh Muhammad Nuri ad-Dirtsawi, beliau mengatakan: “Mengubah dan menghapus hadis-hadis merupakan kebiasaan buruk kelompok Wahabi. Sebagai contoh, Nukman al-Alusi telah mengubah tafsir yang ditulis oleh ayahnya, Syeikh Mahmud al-Alusi yang berjudul Ruh al-Ma’ani. Semua pembahasan yang membahayakan kelompok Wahabi telah dihapus.

Jika tidak ada perubahan, niscaya tafsirbeliau menjadi contoh buat kitab-kitab tafsir lainnya. Contoh lain, dalam kitab al-Mughni karya Ibnu Qodamah al-Hanbali, pembahasan tentang istighotsah telah dihapus, karena hal itu mereka anggap sebagai bagian dari perbuatan Syirik. Setelah melakukan perubahan tersebut, baru mereka mencetaknya kembali.Kitab Syarah Shahih Muslim pun (telah diubah) dengan membuang hadis-hadis yang berkaitan dengan sifat-sifat (Allah), kemudian baru mereka mencetaknya kembali.”

20Namun sayang, banyak saudara-saudara dari Ahlusunnah lalai dengan apa yang mereka lakukan selama ini. Perubahan-perubahan semacam itu, terkhusus mereka lakukan pada hadis-hadis yang berkaitan dengan keutamaan keluarga (Ahlul-Bait) Nabi saw. Padahal, salah satu sisi kesamaan antara Sunni-Syiah adalah pemberian penghormatan khusus terhadap keluarga Nabi. Dari sinilah akhirnya pribadi seperti Sayyid Hasan bin Ali as-Saqqaf menyatakan bahwa mereka tergolong kelompok Nashibi (pembenci keluarga Rasul).Dalam kitab tafsir Jami’ al-Bayan, sewaktu menafsirkan ayat 214 dari surat as-Syu’ara: “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabat-mu yang terdekat,” di situ, Rasulullah mengeluarkan pernyataan berupa satu hadis yang berkaitan dengan permulaan dakwah.


Pada hadis yang tercantum dalam kitab tafsir tersebut disebutkan, Rasul bersabda: “Siapakah di antara kalian yang mau menjadi wazir dan membantuku dalam perkara ini—risalah—maka akan menjadi saudaraku…(kadza…wa…kadza)….” Padahal, jika kita membuka apa yang tercantum dalam Tarikh at-Thabari kata “kadza wa kadza” (yang dalam penulisan buku berbahasa Indonesia, biasa digunakan titik-titik) sebagai ganti dari sabda Rasul yang berbunyi: “Washi (pengganti) dan Khalifahku.” Begitu pula hadis-hadis semisal, “Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya,” yang dulu tercantum dalam kitab Jaami’ al-Ushul karya Ibnu Atsir, kitab Tarikh al-Khulafa’ karya as-Suyuthi dan as-Showa’iq al-Muhriqoh karya Ibnu Hajar yang beliaunukil dari Shahih at-Turmudzi, kini telah mereka hapus.

Melakukan peringkasan kitab-kitab standar, juga sebagai salah satu trik mereka untuk tujuan yang sama.Dan masih banyak usaha-usaha licik lain yang mereka lancarkan, demi mempertahankan ajaran mereka, terkhusus ajaran kebencian terhadap keluarga Nabi. Sementara sudah menjadi kesepakatan kaum muslimin, bahwa mencintai keluarga Nabi adalah suatu kewajiban, sebagaimana Syair yang pernah dibawakan oleh imam Syafi’i:“Jika mencintai keluarga Muhammad adalah Rafidhi (Syiah), maka saksikanlah wahai ats-Tsaqolaan (jin dan manusia) bahwa aku adalah Rafidhi.”21Salafi (Wahabi) dan KhawarijTidak berlebihan kiranya jika sebagian orang beranggapan bahwa kaum Wahabi (Salafi) memiliki banyak kemiripan dengan kelompok Khawarij.

Melihat, dari sejarah yang pernah ada, kelompok Khawarij adalah kelompok yang sangat mirip sepak terjang dan pemikirannya dengan kelompok Wahabi.Oleh karenanya, bisa dikatakan bahwa kelompok Wahabi adalah pengejawantahan kelompok Khawarij di masa sekarang ini. Di sini, secara singkat bisa disebutkan beberapa sisi kesamaan antara kelompok Wahabi dengan golongan Khawarij yang dicela melalui lisan suci Rasulullah saw., di mana Rasul memberi julukan golongan sesat itu (Khawarij) dengan sebutan “mariqiin”, yang berarti ‘lepas’ dari Islam sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya.

22Paling tidak ada enam kesamaan antara dua golongan ini yang bisa disebutkan. Pertama, sebagaimana kelompok Khawarij dengan mudah menuduh seorang muslim dengan sebutan kafir, kelompok Wahabi pun sangat mudah menuduh seorang muslim sebagai pelaku syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul. Yang semua itu adalah ‘kata halus’ dari pengkafiran, walaupun dalam beberapa hal memiliki kesamaan dari konsekuensi hukumnya. Abdullah bin Umar dalam menyifati kelompok Khawarij mengatakan: “Mereka menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir, lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang beriman.”23 Ciri-ciri semacam itu juga akan dengan mudah kita dapati pada pengikut kelompok Salafi (Wahabi) berkaitan dengan saudara-saudaranya sesama muslim.


Bisa dilihat, betapa mudahnya para rohaniawan Wahabi (muthowi’) menuduh para jamaah haji sebagai pelaku syirik dan bid’ah dalam melakukan amalan yang dianggap tidak sesuai dengan akidah mereka.Kedua, sebagaimana kelompok Khawarij disifati sebagaimana yang tercantum dalam hadis Nabi: “Mereka membunuh pemeluk Islam, sedang para penyembah berhala mereka biarkan.”24 maka sejarah telah membuktikan bahwa kelompok Wahabi pun telah melaksanakan prilaku keji semacam itu. Sebagaimana yang pernah dilakukan pada awal penyebaran Wahabisme oleh pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab.

Pembantaian berbagai kabilah dari kaum muslimin mereka lakukan di beberapa tempat, terkhusus di wilayah Hijaz dan Irak kala itu.Ketiga, sebagaimana kelompok Khawarij memiliki banyak keyakinan yang aneh dan keluar dari kesepakatan kaum muslimin, seperti keyakinan bahwa pelaku dosa besar dihukumi kafir, kaum Wahabi pun memiliki kekhususan yang sama.Keempat, seperti kelompok Khawarij memiliki jiwa jumud (kaku), mempersulit diri dan mempersempit luang lingkup pemahaman ajaran agama, maka kaum Wahabi pun mempunyai kendala yang sama.Kelima, kelompok Khawarij telah keluar dari Islam dikarenakan ajaran-ajaran yang menyimpang, maka Wahabi pun memiliki penyimpangan yang sama.

Oleh karenanya, ada satu hadis tentang Khawarij yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahih-nya, yang dapat pula diterapkan pada kelompok Wahabi. Rasul bersabda: “Beberapa orang akan muncul dari belahan bumi sebelah timur. Mereka membaca al-Quran, tetapi (bacaan tadi) tidak melebihi batas tenggorokkan. Mereka telah keluar dari agama (Islam), sebagaimana terkeluar (lepas)-nya anak panah dari busurnya.Tanda-tanda mereka, suka mencukur habis rambut kepala.”

25 Al-Qistholani dalam mensyarahi hadis tadi mengatakan: “Dari belahan bumi sebelah timur,” yaitu dari arah timur kota Madinah semisal daerah Najd.26 Sedang dalam satu hadis disebutkan, dalam menjawab perihal kota an-Najd: “Di sana terdapat berbagai guncangan, dan dari sana pula muncul banyak fitnah.”27 Atau dalam ungkapan lain yang menyebutkan: “Di sana akan muncul qornsetan.” Dalam kamus bahasa Arab, kata qorn berartikan umat, pengikut ajaran seseorang, kaum atau kekuasaan.28Sedang kita tahu, kota Najd adalah tempat lahir dan tinggal Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi, pendiri Wahabi.

Kota itu sekaligus sebagai pusat Wahabisme, dan dari situlah pemikiran Wahabisme disebarluaskan ke segala penjuru dunia. Banyak tanda zahir dari kelompok tersebut. Selain mengenakan celana atau gamis hingga betis, mencukur rambut kepala sedangkan jenggot dibiarkan bergelayutan tidak karuan adalah salah satu syiar dan tanda pengikut kelompok ini.Keenam, sebagaimana kelompok Khawarij meyakini bahwa “negara muslim” (Daar al-Salam) jika penduduknya banyak melakukan dosa besar, maka dapat dikategorikan “negara zona perang” (Daar al-Harb), kelompok radikal Wahabi pun meyakini hal tersebut.

Sekarang ini dapat dilihat, bagaimana kelompok-kelompok radikal Wahabi—seperti al-Qaedah—melakukan aksi teror di berbagai tempat yang tidak jarang kaum muslimin juga sebagai korbannya.Tulisan ringkas ini mencoba untuk mengetahui tentang apa dan siapa kelompok Salafi (Wahabi). Semoga dengan pengenalan ringkas ini akan menjadi kejelasan akan kelompok yang disebut-sebut sebagai Salafi ini, yang mengaku penghidup kembali ajaran Salaf Saleh. Sehingga kita bisa lebih berhati-hati dan mawas diri terhadap aliran sesat dan menyesatkan yang telah menyimpang dari Islam Muhammadi tersebut.


Penulis: Adalah mahasiswa pasca sarjana Perbandingan Agama dan Mazhab di Universitas Imam Khomeini Qom, Republik Islam Iran.Rujukan:2 Lisan al-Arab, jil. 6, hal. 330.3 As-Salafiyah Marhalah Zamaniyah, hal. 9, karya Dr. M Said Ramadhan Buthi.4 As-Shohwat al-Islamiyah, hal. 25, karya al-Qordhowi.5 Al-Aqoid as-Salafiyah, hal. 11, karya Ahmad bin Hajar Aali Abu Thomi.6 Al-Madzahib al-Islamiyah, hal. 331, karya Muhammad Abu Zuhrah.7 Untuk lebih jelasnya, dapat ditelaah lebih lanjut kitab tebal karya penulis Arab al-Ustadz Nasir as-Sa’id tentang sejarah kerajaan Arab Saudi yang diberi judul “Tarikh aali Sa’ud.” Karya ini berulang kali dicetak. Di situ dijelaskan secara detail sejarah kemunculan keluarga Saud di Jazirah Arab hingga zaman kekuasaan raja Fahd. Dalam karya tersebut, as-Said menetapkan bahwa keluarga Saud (pendiri) kerajaan Arab Saudi masih memiliki hubungan darah dan emosional dengan Yahudi Arab.8 Selengkapnya silakan lihat: As-Salafiyah al-Wahabiyah, karya Hasan bin Ali as-Saqqaf, cet. Daar al-Imam an-Nawawi, Amman-Yordania.9 Al-Milal wa an-Nihal, jil. 1, hal. 165, karya as-Syahrastani.10 Fi ‘Aqo’id al-Islam, hal. 155, karya Muhammad bin Abdul Wahab (dalam kumpulan risalah-nya).11 Ayat-ayat al-Quran yang berbunyi “afalaa ta’qiluun” (Apakah kalian tidak memakai akal) atau “Afalaa tatafakkarun” (Apakah kalian tidak berpikir) dan semisalnya akan sangat mudah kita dapati dalam al-Quran.Ini semua salah satu bukti konkret bahwa al-Quran sangat menekankan penggunaan akal dan mengakui keikutsertaan akal dalam memahami kebenaran ajaran agama.12 Q.S. Thoha: 5.13 Al-Washiyah al-Kubra, hal. 31 atau Naqdhu al-Mantiq, hal. 119 karya Ibnu Taimiyah.14 Q.S. as-Syura: 11.15 Al-Milal wa an-Nihal, jil. 1, hal. 84.16 Banyak hal yang terbukti dengan argumen teks yang mencakup ayat, riwayat, ungkapan dan sirah para sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in diperbolehkan, namun pada kelompok Salafi (Wahabi) mengharamkannya, seperti masalah; membangun dan memberi cahaya lampu pada kuburan, berdoa di samping makam para kekasih Ilahi (waliyullah), mengambil berkah dari makam kekasih Allah, menyeru atau meminta pertolongan dan syafaat dari para kekasih Allah pasca kematian mereka, bernazar atau sumpah atas nama para kekasih Allah, memperingati dan mengenang kelahiran atau kematian para kekasih Allah, bertawassul, dan melaksanakan tahlil (majelis fatihah)…semua merupakan hal yang diharamkan oleh para kelompok Salafi, padahal banyak ayat dan riwayat, juga prilaku para Salaf yang menunjukkan akan diperbolehkannya hal-hal tadi.17Salah satu bentuk penyimpangan kelompok Wahabi terhadap ajaran Imam Ahmad bin Hanbal adalah pengingkaran Ibnu Taimiyah terhadap berbagai hadis berkaitan dengan keutamaan keluarga Rasul saw., yang Imam Ahmad sendiri meyakini keutamaan mereka dengan mencantumkannya dalam kitab Musnad-nya. Dari situ akhirnya Ibnu Taimiyah bukan hanya mengingkari hadis-hadis tersebut, bahkan melakukan pelecehan terhadap keluarga Rasul, terkhusus Ali bin Abi Thalib as. (lihat: Minhaj as-Sunnah, jil. 8, hal. 329.) Dan terbukti, kekhilafahan Ali sempat “diragukan” oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “Minhaj as-Sunnah” (lihat: jil. 4, hal. 682), dan ia termasuk orang yang menyebarluaskan keraguan itu. Padahal, semua kelompok Ahlusunnah “meyakini” akan kekhilafahan Ali. Lantas, masihkah layak Ibnu Taimiyah beserta pengikutnya mengaku sebagai pengikut Ahlussunnah?18Al-Aqidah li al-Imam Ahmad bin Hanbal, hal. 38.19 As-Salafiyah baina Ahlusunnah wa al-Imamiyah, hal. 680.20 Rudud ‘ala Syubahaat as-Salafiyah, hal. 249.21 Diwan as-Syafi’i, hal. 55.22 Musnad Ahmad, jil. 2, hal. 118.23 Shahih Bukhari, jil. 4, hal. 197.24 Majmu’ al-Fatawa, jil. 13, hal. 32, karya Ibnu Taimiyah.25 Shahih Bukhari, “kitab at-Tauhid”, bab 57, hadis ke-7123.26 Irsyad as-Saari, jil. 15, hal. 626.27 Musnad Ahmad, jil. 2, hal. 81 atau jil. 4, hal. 5.28 Al-Qomuus, jil. 3, hal. 382, kata: “Qo-ro-na.”Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa selain (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (QS. An Nisaa’ : 48)Dari Abu Dzar ra., Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Jibril berkata kepadaku, ‘Barangsiapa diantara umatmu yang meninggal dunia dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka pasti dia masuk surga’” (HR. Bukhari) [Hadits ini terdapat pada Kitab Shahih Bukhari]
diambil dari : http://dervishwarrior.blogspot.com/

HAID

HAIDH (MENSTRUASI)

Oleh : ABU ACHMAD


Bismillaah

Hamidanlillaah wamusholliyan ‘alaa Rosulillah SHOLALLOHU ‘ALAIHI WASALLAM

wa’alaa aalihii washohbihii wa atbaa’ihii ajma’iin.

BAB 1. HAIDH

Haidh adalah sebuah kebiasaan bagi tiap2 wanita dalam tiap bulannya.Bagi setiap muslimah wajib mengerti tentang masalah haidh ini.Mulai dari pertama kali menstruasi,seorang wanita muslimah sudah dikatakan balighoh dan mulai saat itulah dia disebut mukallaf,artinya dia harus siap menjaga tugas-tugasnya sebagai seorang muslimah,beribadah kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan perintah Allah Ta’ala dan menjauhi segala larangan2Nya. Dia sudah harus memikul tugas dan kewajiban2 agamanya hingga dia kembali pulang ke rahmatullah dan bertanggung jawab dengan segala amal perbuatannya.

Minimal usia wanita haidh itu apabila ia sudah umur 9 tahun Qomariyyah dan bukan memakai kalender syamsiyyah atau nasional/umum. Hitungan mudahnya 9 tahun qomariyyah itu adalah 3189 hari lebih 1 jam 12 menit, ini dihitung mulai ia lahir dari ibunya. Jadi kalau ada seorang wanita mengeluarkan darah dari rahimnya dan dia belum berumur 9 tahun maka itu bukan darah haidh tetapi darah fasad atau penyakit.Dan itu tidak jadi ukuran untuk menetapkan bahwa dia sudah balighoh.

DASAR HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN MASALAH HAIDH.
Dalam Alqur’an al kariem Allah Ta’ala berfirman :”Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haidh.Katakanlah:”Haidh itu adalah kotoran”.Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkn diri (tidak boleh menjima’) dari wanita diwaktu haidh dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci (sebelum mandi jinabah).Apalabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu.Sesungguhnya Allah menyukai orang2 yang bertaubat dan menyukai orang2 ang mensucikan diri”.(Q.S.Al baqoroh 222).

Sebab turunnya ayat tersebut adalah bahwa orang2 yahudi kalau isterinya sedang haidh maka tidak boleh ada didalam rumah,harus keluar dari rumah,tidak boleh makan bersama suaminya dan lain2.Akhirnya para sahabat bertanya kepada Rosulullah SHOLALLOHU ‘ALAIHI WASALLAM,maka kemudian turunlah ayat tersebut.Lalu Rosulullah SHOLALLOHU ‘ALAIHI WASALLAM bersabda :”Ishna’uu kulla syai’in illaa annikaah…Artinya kalian boleh melakukan apa saja terhadap istri yang sedang haidh kecuali jima’/bersetubuh.Dalam hadits AlBukhori & Muslim nabi SHOLALLOHU ‘ALAIHI WASALLAM bersabda:”Haadzaa syai’un katabahullohu ‘alaa banaati aadam”..Artinya haidh adalah salah satu ketentuan dari Allah untuk setiap wanita.

Sebelum kita masuk inti pembahasan haidh dan contoh2nya,berikut ini kita ketahui dulu apa2 saja yang diharamkan agama bagi setiap wanita yang sedang haidh. Yaitu pertama, Sholat.Baik sholat fardhu ataupun sunah.

Disamping haram,sholatnyapun tidak sah.Wanita haidh tidak wajib mengqodho sholatnya.Dalil haramnya sholat bagi wanita haidh adalah Alquran,surat Annisaa 43 juga hadits dari Ibnu Umar bahwa beliau mendengar nabi SHOLALLOHU ‘ALAIHI WASALLAM bersabda:”Laa tuqbalu sholaatun bighoiri thuhuurin”.(HR Muslim 224).Artinya sholat tidak diterima dalam keadaan tidak suci.


Kedua, Puasa.Baik puasa fardhu seperti romadhon,nadzar dan qodho romadhon juga puasa sunah seperti senin,kamis,tanggal 13,14,15 dll.Disamping haram haram puasanya juga tidak sah.Cuman saja wanita haidh ini wajib mengqodlo puasa.Karena ada hadits dari ‘Aisyah bahwa kami diperintahkan oleh rosulullah SHOLALLOHU ‘ALAIHI WASALLAM untuk mengqodho puasa tapi tidak diperintah mengqodho sholat.Dalilnya adalah hadits Rosulullah SHOLALLOHU ‘ALAIHI WASALLAM riwayat Al-Bukhori no 315 dan 298 juga dalam riwayat muslim hadits no 335 dan 80.


Ketiga, Membaca Al qur’an.baik satu ayat atau lebih bahkan satu kalimatpun kalau diniatkan membaca alqur’an maka hukumnya haram. Dalilnya adalah sebuah hadits Rosulullah SHOLALLOHU ‘ALAIHI WASALLAM bersabda:”Laa taqro’i al junubu walal haaidhu syai’an minal qur’an”.Arinya Orang junub dan haidh tidak boleh membaca alqur’an. Kalau tidak bertujuan membaca alqura’an seperti membaca bismillahirrohmaanirrohim ketika mau makan,minum dll, atau mengucapkan innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun ketika terkena musibah maka hukumnya tidak haram.


Keempat, Memegang mushaf (al qur’an).Dalilnya adalah alqur’an :”Laa yamassuhuu illal muthohharuun”.(Al waaqi’ah 79).Artinya tidak menyentuhnya kecuali hamba2 yang disucikan.juga didukung sebuah hadits rosulullah saw :”Laa yamassul qur’an illaa thoohir”.Artinya tidak boleh memegang alquran kecuali dalam keadaan suci.
Diam didalam masjid.Dalilnya adalah hadits Rosulullah saw:”Laa uhillu almasjida li haa’idhin walaa junubin”.(HR Abu Dawud 232).Artinya Aku tidak halalkan masjid untuk orang haidh dan junub.Kalau hanya lewat dan yakin kalau darahnya tidak menetes dan jatuh dimasjid maka hukumnya boleh.

Kelima, Thowaf, baik thowaf rukun seperti thowaf ifadhoh atau thowaf wajib seperti thowaf wada’ (perpisahan/pamitan),ataupun thowaf sunah seperti thowaf qudum (pertama/selamat datang).karena thowaf hukumnya sama seperti sholat,artinya harus suci dari hadas.Dalilnya adalah hadits Rosulullah saw:”Aththowaafu bil baiti sholaatun,illaa annallooha ahalla lakum fiihi alkalaamu,faman takallama falaa yatakallam illaa bi khoirin”.Artinya Thowah di baitulloh adalah sholat,hanya saja Allah memperbolehkan bicara dalam thowaf,barang siapa berbicara saat thowaf,maka bicaralah yang baik.(HR Al Hakim 1/459 dengan isnad yang shohih).


Keenam, Jima’.yaitu bersetubuh dalam keadaan haidh.Dalilnya adalah Alquran :”Walaa taqrobuuhunna hattaa yathhurna…”.Artinya janganlah mendekati mereka (para istri) kecuali setelah mereka suci.(QS Al Baqoroh 222).Maksud dari kalimat jangan mendekati adalah jangan menjima’.


MASA HAIDH
Masa haidh itu ada yang disebut Al Aqoll atau masa minimal,ada yang disebut Al ghoolib atau masa yang umum dan ada yang disebut Al Aktsar atau waktu maksimal.

Waktu minimal keluarnya darah haidh adalah sehari semalam atau dalam hitungan 24 jam,hal itu kalau darah terus merembes keluar,artinya jika diambil kapas dan ditempelkan kerahim maka darahnya nyata ada atau kelihatan.Jadi misalnya ada seorang wanita haidh mengeluarkan darah pada hari pertama 10 jam,hari kedua 8 jam,hari ketiga 6 jam.terus darah berhenti,jadi genap 24 jam.maka wanita ini berarti haidh pada masa Al aqoll.Wanita ini tidak wajib mengqodho sholatnya.Kalau dihitung sampai saat darah berhenti tadi kurang dari 24 jam,maka itu berarti bukan darah haidh tapi disebut darah penyakit,fasad atau istihadhoh.wanita yang seperti ini wajib mengqodho sholatnya.

Adapun masa umumnya haidh adalah 6 atau 7 hari,walaupun darah yang keluar tidak terus menerus merembes keluar.Tapi darah yang tidak terus menerus keluarnya kemudian dihukumi darah haidh itu syaratnya masa keluarnya darah dalam 6 atau 7 hari itu kalau dihitung ada 24 jam atau lebih.kalau kurang dari 24 jam maka bukan darah haidh tapi darah fasad atau istihadhoh.

Contoh..umpamanya Aiysah mengeluarkan darah selama 7 hari, setiap sehari semalam hanya 3 jam, jadi kalau dihitung 3 jam x 7 hari =21 jam.berarti kurang dari 24 jam.maka darah selama 7 hari itu bukan darah haidh tapi darah penyakit atau istihadhoh.Karena bukan darah haidh maka Aiysah harus mengqodho sholat yang ditinggalkannya selama 7 hari itu.

Apabila Aiysah dalam 7 hari itu, setelah mengumpulkan dan menghitung masa masa keluarnya darah dan ternyata ada 24 jam atau lebih.maka masa 7 hari itu adalah haidh dan waktu2 yang sempat tidak mengeluarkan darah itu tetap dihukumi masa haidh.Jadi Aiysah tidak wajib mengqodho sholatnya selama 7 hari itu.

Sedangkan maksimal masa haidh adalah 15 hari walaupun darah yang keluar tidak terus menerus merembes.Tapi darah yang tidak terus menerus keluar dalam masa 15 hari ini dihukumi haidh syaratnya pada masa keluarnya darah apabila dikumpulkan dan dihitung ada 24 jam atau lebih.kalau tidak ada 24 jam maka bukan darah haidh tapi darah penyakit atau istihadhoh.

Contoh: Didalam masa 15 hari si ita mengeluarkan darah setiap harinya mengeluarkan darah hanya 1 jam, jadi dalam 15 hari hanya 15 jam. maka semua itu bukan darah haidh tapi darah penyakit atau istihadhoh.jadi si ita harus mengqodlo sholat yang ditinggalkannya selama 15 hari itu.

Apabila si ita dalam 15 hari itu setelah mengumpulkan dan menghitung masa keluarnya darah dan ternyata ada 24 jam atau bahkan lebih maka 15 hari itu dihukumi haidh dan masa masa kosong/tidak mengeluarkan darah di dalam 15 hari itu tetap dihukumi masa haidh.Jadi ita tidak wajib mengqodho sholat selama 15 hari itu.


Apabila darah masih keluar setelah 15 hari dan seterusnya,maka darah tersebut bukan darah haidh,tapi darah istihadhoh, jadi tanggal 16 ita harus mandi besar dan wajib sholat,puasa dan lain-lain, walaupun darah masih keluar. Sebab orang istihadhoh itu hukumnya adalah orang yang suci.

SUCI DARI HAIDH
Secara umum semua wanita tiap bulan pasti mengalami haidh dan suci. Minimal masa suci di antara dua haidh yaitu 15 hari.Karena maksimal masa haidh itu 15 hari,maka otomatis minimal masa suci antara dua haidh yaitu 15 hari. Kalau masa suci antara haidh dan nifas bisa saja kurang dari 15 hari. Suci antaranya haidh dan nifas ada yang haidh dulu lalu suci,kemudian nifas. Dan ada yang nifas dulu lalu suci,kemudian haidh.Tapi keluarnya darah harus setelahnya nifas berjalan hingga 60 hari yaitu masa maksimal nifas.Karena kalau banyaknya nifas itu belum sampai 60 hari, kemudian wanita itu mengeluarkan darah,maka darah itu bukan darah haidh. Kecuali kalau antara berhentinya darah nifas dan keluarnya darah kembali (selanjut)nya itu ada masa 15 hari lebih.

Umumnya suci yaitu sisanya masa 1 bulan setelah haidhnya menetapi keumuman.Jadi kalau seorang wanita haidh 6 hari,berarti sucinya 24 hari. kalau haidhnya 7 hari,berarti sucinya 23 hari.

Maksimal masa suci itu tidak terbatas.Terkadang ada seorang wanita yang haidhnya hanya 1 kali kemudian tak pernah haidh lagi,dan kadang ada yang tidak haidh sama sekali seumur hidupnya,sehingga suci terus, seperti sayyidah maryam binti imron ibunda nabi Isa dan sayyidah Fathimah azzahro putri baginda Rosulullah SHOLALLOHU ‘ALAIHI WASALLAM.

Referensi :

Masaail Annisaa’ karya Asy-Syekh Mishbah Zainal-Musthofa.
Al Fiqhul-Manhajy ‘alaa Madzhabi al imaami Asy-Syaafi’i karya Dr Musthofa Al khin, Dr Musthofa Al Bughoo dan Asysyekh ‘Aly Asy-Syuraihy.

sate kuda

Hari selasa 30 oktober 2007, Ridlo Assegav, santri luar yang masih sergep ngaji di MIM-Tulungagung ini bertanya tentang mulai maraknya Sate Kuda di kota Tulungagung, Blitar, Kediri bahkan Lawang Malang. "Gimana ustadz, hukum makan sate kuda?" Tanya Santri yang pernah hampir setahun diet superketat ini.

Khuwaidimul Ma'had Ibnu Mas'ud langsung menjelaskan sebagai berikut:

Hukum Sate Kuda

Hukum sate kuda tergantung pada hukum daging kuda. Sedang daging kuda (lahm al-khayl) hukumnya halal. Di antara para ulama yang menghalalkan daging kuda adalah Zaid bin Tsabit RA, Imam Asy-Syafi’i, dua sahabat Imam Abu Hanifah (yaitu Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hasan), Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ishaq, serta jumhur ulama salaf dan khalaf (Lihat Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, IV/74).

Dalil halalnya daging kuda adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Jabir RA bahwa Rasulullah SAW pada Perang Khaybar (yauma khaybar) telah melarang daging-daging keledai jinak dan mengizinkan daging kuda (Lihat Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, IV/73; Syaikh Asy-Syarbaini Al-Khathib, Al-Iqna’, II/274). Dalil lainnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Asma` binti Abu Bakar Ash-Shiddiq, dia berkata,"Kami telah menyembelih seekor kuda pada masa Rasulullah SAW, lalu kami memakannya." (Muttafaq ‘alayh). Dalam satu riwayat, ada tambahan, "...sedang kami di Madinah." (Subulus Salam, IV/78). Kedua dalil ini dengan jelas telah menghalalkan makan daging kuda.

Tetapi, sebagian ulama mengharamkan makan daging kuda. Mereka adalah Imam Malik, Imam Abu Hanifah, ulama Al-Hadawiyah, dan pendapat yang masyhur di kalangan para ulama Hanafiyah (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, IV/73; Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, I/379). Dalilnya adalah hadits dari Khalid bin Al-Walid RA, bahwa Rasulullah SAW telah melarang makan daging kuda, baghal, keledai dan setiap binatang buas yang bertaring (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah. Lihat Imam As-Suyuthi, Al-Jami’ Ash-Shaghir, hal. 191; Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, IV/74).

Pendapat yang mengharamkan daging kuda ini lemah. Sebab banyak ulama yang tidak menerima hadits Khalid tersebut dan menganggapnya sebagai hadits dhaif (lemah), sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Imam Al-Bayhaqi mengatakan," Isnad [hadits] ini mudhtarib (1), menyalahi riwayat orang-orang yang tsiqat (2)," Imam Al-Bukhari berkata tentang dua perawi di antara para perawi hadits tersebut, yaitu Abu Shalih Tsaur bin Yazid dan Sulaiman bin Salim,"Perlu dipertimbangkan (fiihi nazhar)." Imam Ahmad, Ad-Daruquthni, Al-Khaththabi, Ibnu Abdil Barr, dan Abdul Haq mendhaifkan hadits ini (Subulus Salam, IV/74). Imam Ahmad dan lainnya mengatakan," [Hadits ini] munkar (3)." Sedang Abu Dawud mengatakan," [Hadits ini] mansukh (dihapus hukumnya)." (Syaikh Asy-Syarbaini Al-Khathib, Al-Iqna’, II/274).

Dengan demikian, karena hadits Khalid bin Al-Walid ini dhaif (lemah), maka hadits tersebut tidak dapat dijadikan dalil haramnya daging kuda. Namun andaikata saja hadits tersebut sahih atau hasan, sehingga dapat dijadikan dalil, maka harus dilakukan tarjih antara hadits Khalid bin Al-Walid ini yang melarang daging kuda dengan hadits-hadits Jabir dan Asma` yang menghalalkan daging kuda. Dalam hal ini, Imam As-Suyuthi menilai bahwa hadits Khalid bin Al-Walid adalah hadits hasan, sehingga layak dijadikan hujjah (dalil) (Lihat Imam As-Suyuthi, Al-Jami’ Ash-Shaghir, hal. 191).

Di antara kaidah tarjih dalam ilmu ushul fiqih; jika satu hadits melarang (naahi) sedang hadits lainnya membolehkan (mubiih), maka yang lebih rajih (kuat) adalah hadits yang membolehkan. Mengapa demikian? Sebab mengamalkan dalil yang melarang, akan menghilangkan pengamalan dalil lainnya (yang membolehkan) secara keseluruhan. Jadi di sini hanya diamalkan satu dalil saja (dalil yang melarang). Sedang mengamalkan dalil yang membolehkan, akan dapat sekaligus mengamalkan dua dalil, yaitu dalil yang membolehkan dan juga dalil yang melarang. Sebab, tujuan dari mengamalkan dalil yang membolehkan, adalah menta`wil adanya larangan dengan mengalihkan maknanya menuju pembolehan (ibahah). Padahal pembolehan itu sudah jelas ditunjukkan oleh dalil yang membolehkan (mubiih). Maka, hadits yang membolehkan lebih rajih daripada hadits yang melarang, sebab mengamalkan dua dalil adalah lebih utama daripada membatalkan salah satunya (i’maal ad-daliilayni awla min ta’thiili ahadihimaa) (Lihat Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, I/242-243; Saifuddin Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ihkam, IV/365-366).

Jika kaidah tarjih ini diterapkan, maka hadits Jabir (yang membolehkan daging kuda) adalah lebih rajih (kuat) daripada hadits Khalid (yang melarang daging kuda). Jadi, andaikata saja hadits Khalid tersebut tidak dhaif, tetapi hasan, seperti penilaian Imam As-Suyuthi, tetap saja ia merupakan hadits yang marjuuh (tidak kuat), yang tidak dapat diamalkan. Maka yang diamalkan adalah hadits Jabir yang menghalalkan daging kuda.

Kesimpulannya, makan daging kuda hukumnya adalah halal. Inilah pendapat yang rajih menurut pemahaman kami. Wallahu a’lam. [ ]

tulungagung, 31 okt. 2007

Abu Achmad Qowim Syibly Abu Arovah

mimtulungagung. wordpress. com

mimtulungagung. blogspot. com

CATATAN KAKI:

(1). Hadits mudhtarib adalah hadits yang diriwayatkan dengan redaksi (matan) yang berbeda-beda dan saling bertentangan yang sama kekuatannya, yakni tidak dapat dikumpulkan (jama’/tawfiiq) dan juga tidak dapat ditarjih (Lihat Mahmud Ath-Thahhan, Taysir Musthalah Al-Hadits, hal. 112; Imam Abul Hasan Al-Jurjani, Inti Sari Ilmu Hadits (Al-Mukhtashar fi Ushul Al-Hadits), hal. 42; M.M. Azami, MA, Ph.D, Memahami Ilmu Hadits, hal. 115-116; Fatchur Rahman, Ikhtishar Musthalahul Hadits, hal. 163).

(2) Tsiqat, adalah perawi yang memiliki sifat adil (tidak fasiq) dan dhabit (kuat hapalan) (Lihat Imam Abul Hasan Al-Jurjani, Inti Sari Ilmu Hadits [Al-Mukhtashar fi Ushul Al-Hadits], hal. 24).

(3) Hadits Munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dhaif, menyalahi apa yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (definisi Ibnu Hajar Al-Asqalani) . Definisi kedua, hadits munkar adalah hadits yang dalam isnadnya ada perawi yang banyak kesalahannya [dalam menyampaikan hadits], atau banyak kelengahannya [dalam menerima hadits], atau jelas kefasikannya (Lihat Mahmud Ath-Thahhan, Taysir Musthalah Al-Hadits, hal. 95-96; Fatchur Rahman, Ikhtishar Musthalahul Hadits, hal. 158-159).