Wednesday, November 7, 2007

fatwa AZZUHAYLI 02


1. MAKRUHNYA SHOLAT DI MASJID YANG DI DEPANNYA ADA KUBURANNYA.
2. BOLEH MENGGUNAKAN AIR MUSTA'MAL? DENGAN NIAT IGHTIROF ATAU MENGAMBIL/NGECLUPKAN TANGAN misalnya.
3. DLL

fatwa AZZUHAYLI 01


TIDAK DISUNNAHKAN MENGANGKAT TANGAN KETIKA KHOTBAH JUM'AT ATAU IDUL FITRI ATAU IDUL ADL-HAA.

Wednesday, October 31, 2007

salafy sesat?

Membaca Sesatnya Salafi, Wahabi dan Khawarij
Oleh: Mukhtar Luthfi

Dalam melihat faktor kemunculan pemikiran untuk kembali kepada pendapat Salaf menurut Imam Ahmad bin Hanbal dapat diperhatikan dari kekacauan pada zaman itu. Sejarah membuktikan, saat itu, dari satu sisi, kemunculan pemikiran liberalisme yang diboyong oleh pengikut Muktazilah, yang meyakini keikutsertaan dan kebebasan akal secara ekstrem serta radikal dalam proses memahami agama. Sedang di sisi lain, munculnya pemikiran filsafat yang banyak diadopsi dari budaya luar agama, menyebabkan munculnya rasa putus asa dari beberapa kelompok ulama Islam, termasuk Ahmad bin Hanbal. Untuk lari dari pemikiran-pemikiran semacam itu, lantas Ahmad bin Hanbal memutuskan untuk kembali kepada metode para Salaf dalam memahami agama, yaitu dengan cara tekstual.

Akhir-akhir ini, di Tanah Air kita muncul banyak sekali kelompok-kelompok pengajian dan studi keislaman yang mengidentitaskan diri mereka sebagai pengikut dan penyebar ajaran para Salaf Saleh.Mereka sering mengatasnamakan diri mereka sebagai kelompok Salafi. Dengan didukung dana yang teramat besar dari negara donor, yang tidak lain adalah negara asal kelompok ini muncul, mereka menyebarkan akidah-akidah yang bertentangan dengan ajaran murni keislaman baik yang berlandaskan al-Quran, hadis, sirah dan konsensus para salaf maupun khalaf.Dengan menggunakan ayat-ayat dan hadis yang diperuntukkan bagi orang-orang kafir, zindiq dan munafiq, mereka ubah tujuan teks-teks tersebut untuk menghantam para kaum muslimin yang tidak sepaham dengan akidah mereka.

Mereka beranggapan, bahwa hanya akidah mereka saja yang mengajarkan ajaran murni monoteisme dalam tubuh Islam, sementara ajaran selainnya, masih bercampur syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul yang harus dijauhi, karena sesat dan menyesatkan. Untuk itu, dalam makalah ringkas ini akan disinggung selintas tentang apa dan siapa mereka. Sehingga dengan begitu akan tersingkap kedok mereka selama ini, yang mengaku sebagai bagian dari Ahlusunnah dan penghidup ajaran Salaf Saleh.

Definisi Salafi jika dilihat dari sisi bahasa, Salaf berarti yang telah lalu.2 Sedang dari sisi istilah, salaf diterapkan untuk para sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ tabi’in yang hidup di abad-abad permulaan kemunculan Islam.3 Jadi, salafi adalah kelompok yang ‘mengaku’ sebagai pengikut pemuka agama yang hidup di masa lalu dari kalangan para sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in. Baik yang berkaitan dengan akidah, syariat dan prilaku keagamaan.4 Bahkan sebagian menambahkan bahwa Salaf mencakup para Imam Mazhab, sehingga salafi adalah tergolong pengikut mereka dari sisi semua keyakinan keagamaannya.5 Muhammad Abu Zuhrah menyatakan bahwa Salafi adalah kelompok yang muncul pada abad keempat hijriyah, yang mengikuti Imam Ahmad bin Hanbal.

Kemudian pada abad ketujuh hijriyah dihidupkan kembali oleh Ibnu Taimiyah.6Pada hakikatnya, kelompok yang mengaku sebagai salafi, yang dapat kita temui di Tanah Air sekarang ini, mereka adalah golongan Wahabi yang telah diekspor oleh pemuka-pemukanya dari dataran Saudi Arabia.Dikarenakan istilah Wahabi begitu berkesan negatif, maka mereka mengatasnamakan diri mereka dengan istilah Salafi, terkhusus sewaktu ajaran tersebut diekspor keluar Saudi. Kesan negatif dari sebutan Wahabi buat kelompok itu bisa ditinjau dari beberapa hal, salah satunya adalah dikarenakan sejarah kemunculannya banyak dipenuhi dengan pertumpahan darah kaum muslimin, terkhusus pasca kemenangan keluarga Saud—yang membonceng seorang rohaniawan menyimpang bernama Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi—atas semua kabilah di jazirah Arab atas dukungan kolonialisme Inggris. Akhirnya keluarga Saud mampu berkuasa dan menamakan negaranya dengan nama keluarga tersebut.

Inggris pun akhirnya dapat menghilangkan dahaga negaranya dengan menyedot sebagian kekayaan negara itu, terkhusus minyakbumi. Sedang pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab, resmi menjadi akidah negara tadi yang tidak bisa diganggu gugat. Selain menindak tegas penentang akidah tersebut, Muhammad bin Abdul Wahab juga terus melancarkan aksi ekspansinya ke segenap wilayah-wilayah lain di luar wilayah Saudi.Sayyid Hasan bin Ali as-Saqqaf, salah satu ulama Ahlusunnah yang sangat getol mempertahankan serangan dan ekspansi kelompok wahabisme ke negara-negara muslim, dalam salah satu karyanya yang berjudul “as-Salafiyah al-Wahabiyah” menyatakan: “Tidak ada perbedaan antara salafiyah dan wahabiyah.

Kedua istilah itu ibarat dua sisi pada sekeping mata uang. Mereka (kaum salafi dan wahabi) satu dari sisi keyakinan dan pemikiran. Sewaktu di Jazirah Arab mereka lebih dikenal dengan al-Wahhabiyah al-Hanbaliyah. Namun, sewaktu diekspor keluar (Saudi), mereka mengatasnamakan dirinya sebagai Salafy.” Sayyid as-Saqqaf menambahkan: “Maka kelompok salafi adalah kelompok yang mengikuti Ibnu Taimiyah dan mengikuti ulama mazhab Hanbali. Mereka semua telah menjadikan Ibnu Taimiyah sebagai imam, tempat rujukan (marja’), dan ketua. Ia (Ibnu Taimiyah) tergolong ulama mazhab Hanbali. Sewaktu mazhab ini berada di luar Jazirah Arab, maka tidak disebut dengan Wahabi, karena sebutan itu terkesancelaan.”


Dalam menyinggung masalah para pemuka kelompok itu, kembali Sayyid as-Saqqaf mengatakan: “Pada hakikatnya, Wahabiyah terlahir dari Salafiyah. Muhammad bin Abdul Wahab adalah seorang yang menyeru untuk mengikuti ajaran Ibnu Taimiyah dan para pendahulunya dari mazhab Hanbali, yang mereka kemudian mengaku sebagai kelompok Salafiyah.” Dalam menjelaskan secara global tentang ajaran dan keyakinan mereka, as-Saqqaf mengatakan: “Al-Wahabiyah atau as-Salafiyah adalah pengikut mazhab Hanbali, walaupun dari beberapa hal pendapat mereka tidak sesuai lagi (dan bahkan bertentangan) dengan pendapat mazhab Hanbali sendiri. Mereka sesuai (dengan mazhab Hanbali) dari sisi keyakinan tentang at-Tasybih (Menyamakan Allah dengan makhluk-Nya), at-Tajsim (Allah berbentuk mirip manusia), dan an-Nashb yaitu membenci keluarga Rasul saw. (Ahlul-Bait) dan tiada menghormati mereka.”

8Jadi, menurut as-Saqqaf, kelompok yang mengaku Salafi adalah kelompok Wahabi yang memiliki sifat Nashibi(pembenci keluarga Nabi saw.), mengikuti pelopornya, Ibnu Taimiyah.Pelopor Pemikiran “Kembali ke Metode Ajaran Salaf”Ahmad bin Hanbal adalah sosok pemuka hadis yang memiliki karya terkenal, yaitu kitab “Musnad”. Selain sebagai pendiri mazhab Hanbali, ia juga sebagai pribadi yang menggalakkan ajaran kembali kepada pemikiran Salaf Saleh. Secara umum, metode yang dipakai oleh Ahmad bin Hanbal dalam pemikiran akidah dan hukum fikih, adalah menggunakan metode tekstual. Oleh karenanya, ia sangat keras sekali dalam menentang keikutsertaan dan penggunaan akal dalam memahami ajaran agama.Ia beranggapan, kemunculan pemikiran logika, filsafat, ilmu kalam (teologi) dan ajaran-ajaran lain—yang dianggap ajaran di luar Islam yang kemudian diadopsi oleh sebagian muslim—akan membahayakan nasib teks-teks agama.

Dari situ akhirnya ia menyerukan untuk berpegang teguh terhadap teks, dan mengingkari secara total penggunaan akal dalam memahami agama, termasuk proses takwil rasional terhadap teks. Ia beranggapan, bahwa metode itulah yang dipakai Salaf Saleh dalam memahami agama, dan metode tersebut tidak bisa diganggu gugat kebenaran dan legalitasnya. Syahrastani yang bermazhab ‘Asyariyah dalam kitab “al-Milal wa an-Nihal” sewaktu menukil ungkapan Ahmad bin Hanbal yang menyatakan: “Kita telah meriwayatkan (hadis) sebagaimana adanya, dan hal (sebagaimana adanya) itu pula yang kita yakini.”9 Konsekuensi dari ungkapan Ahmad bin Hanbal di atas itulah, akhirnya ia beserta banyak pengikutnya—termasuk Ibnu Taimiyah—terjerumus ke dalam jurang kejumudan dan kaku dalam memahami teks agama.


Salah satu dampak konkret dari metode di atas tadi adalah, keyakinan akan tajsim (anthropomorphisme) dan tasybih dalam konsep ketuhanan, lebih lagi kelompok Salafi kontemporer, pendukung ajaran Ibnu Taimiyahal-Harrani yang kemudian tampuk kepemimpinannya dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi.Suatu saat, datang seseorang kepada Ahmad bin Hanbal. Lantas, ia bertanya tentang beberapa hadis. Hingga akhirnya, pertanyaan sampai pada hadis-hadis semisal: “Tuhan pada setiap malam turun ke langit Dunia.”, “Tuhan bisa dilihat.”, “Tuhan meletakkan kaki-Nya ke dalam Neraka.” dan hadis-hadis semisalnya. Lantas ia (Ahmad bin Hanbal) menjawab: “Kita meyakini semua hadis-hadis tersebut. Kita membenarkan semua hadis tadi, tanpa perlu terhadap proses pentakwilan.”

0Jelas metode semacam ini tidak sesuai dengan ajaran al-Quran dan as-Sunnah itu sendiri. Jika diperhatikan lebih dalam lagi, betapa al-Quran dalam ayat-ayatnya sangat menekankan penggunaan akal dan pikiran dalam bertindak.11Begitu juga hadis-hadis Nabi saw. Selain itu, pengingkaran secara mutlak campur tangan akal dan pikiran manusia dalam memahami ajaran agama akan mengakibatkan kesesatan dan bertentangan dengan ajaran al-Quran dan as-Sunnah itu sendiri. Dapat kita contohkan secara singkat penyimpangan yang terjadi akibat penerapan konsep tadi. Jika terdapat ayat semisal “Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arasy.”12 atau seperti hadis yang menyatakan “Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia pada setiap malam.”

13 Lantas, di sisi lain kita tidak boleh menggunakan akal dalam memahaminya, bahkan cukup menerima teks sebagaimana adanya, maka kita akan terbentur dengan ayat lain dalam al-Quran seperti ayat “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.”14 Apakahayat dari surat Thoha tadi berartikan bahwa Allah bertengger di atas singgasana Arasy sebagaimana Ibnu Taimiyah duduk di atas mimbar, atau turun ke langit dunia sebagaimana Ibnu Taimiyah turun dari atas mimbarnya, yang itu semua berarti bertentangan dengan ayat dari surat as-Syuura di atas.Jadi akan terjadi kontradiksi dalam memahami hakikat ajaran agama Islam. Mungkinkah Islam sebagai agama paripurna akan terdapat kontradiksi? Semua kaum muslim pasti akan menjawabnya dengan negatif, apalagi berkaitan dengan al-Quran sebagai sumber utama ajaran Islam.Melihat kelemahan metode dasar yang ditawarkan oleh Ahmad bin Hanbal semacam ini, meniscayakan adanya pengeroposan ajaran-ajaran yang bertumpu pada metode tadi.

Dalam masalah ini, kembali as-Sahrastani mengatakan: “Berbagai individu dari Salaf telah menetapkan sifat azali Tuhan, semisal; sifat Ilmu, Kemampuan (Qudrat) … dan mereka tidak membedakan antara sifat Dzati dan Fi’li. Sebagaimana mereka juga telah menetapkan sifat khabariyah buat Tuhan, seperti; dua tangan dan wajah Tuhan. Mereka tidak bersedia mentakwilnya, dan mengatakan: itu semua adalah sifat-sifat yang terdapat dalam teks-teks agama.

Semua itu kita sebut sebagai sifat khabariyah.” Dalam kelanjutan dari penjelasan mengenai kelompok Salafi tadi, kembali as-Sahrastani mengatakan: “Para kelompok Salafi kontemporer meyakini lebih dari para kelompok Salaf itu sendiri. Mereka menyatakan, sifat-sifat khabari bukan hanya tidak boleh ditakwil, namun harus dimaknai secara zahir. Oleh karenanya, dari sisi ini, merekatelah terjerumus ke dalam murni keyakinan tasybih. Tentu, permasalahan semacam ini bertentangan dengan apa yang diyakini oleh para salaf itu sendiri.”15 Jadi sesuai dengan ungkapan Syahrastani, bahwa mayoritas para pengikut kelompok Salafi kontemporer telah menyimpang dari keyakinan para Salaf itu sendiri. Itu jika kita telaah secara global tentang konsep memahami teks.

Akibatnya, mereka akan terjerumus kepada kesalahan fatal dalam mengenal Tuhan, juga dalam permasalahan-permasalahan lainnya. Padahal, masih banyak lagi permasalahan-permasalahan lain yang jelas-jelas para Salaf meyakininya, sedang pengaku pengikut salaf kontemporer (salafi) justru mengharamkan dengan alasan syirik, bidah, ataupun khurafat. Perlu ada tulisan tersendiri tentang hal-hal tadi, dengan disertai kritisi pendapat dan argumentasi para pendukung kelompok Wahabisme.16Itulah yang menjadi alasan bahwa para pengikut Salafi (kontemporer) itu sudah banyak menyimpang dari ajaran para Salaf itu sendiri,termasuk sebagian ajaran imam Ahmad bin Hanbal sendiri.

17Faktor Munculnya Kelompok SalafiDalam melihat faktor kemunculan pemikiran untuk kembali kepada pendapat Salaf menurut Imam Ahmad bin Hanbal dapat diperhatikan dari kekacauan pada zaman itu. Sejarah membuktikan, saat itu, dari satu sisi, kemunculan pemikiran liberalisme yang diboyong oleh pengikut Muktazilah, yang meyakini keikutsertaan dan kebebasan akal secara ekstrem dan radikal dalam proses memahami agama. Sedang di sisi lain, munculnya pemikiran filsafat yang banyak diadopsi dari budaya luar agama, menyebabkan munculnya rasa putus asa dari beberapa kelompok ulama Islam, termasuk Ahmad bin Hanbal. Untuk lari dari pemikiran-pemikiran semacam itu, lantas Ahmad bin Hanbal memutuskan untuk kembali kepada metode para Salaf dalam memahami agama, yaitu dengan cara tekstual.

Syeikh Abdul Aziz ‘Izzuddin as-Sirwani dalam menjelaskan faktor kemunculan pemikiran kembali kepada metode Salaf, mengatakan: “Dikatakan bahwa penyebab utama untuk memegang erat metode itu—yang sangat nampak pada pribadi Ahmad bin Hanbal—adalah dikarenakan pada zamannya banyak sekali dijumpai fitnah-fitnah, pertikaian dan perdebatan teologis. Dari sisi lain, berbagai pemikiran aneh, keyakinan-keyakinan yang bermacam-macam dan beraneka ragam budaya mulai bermunculan. Bagaimana mungkin semua itu bisa muncul di khasanah keilmuan Islam. Oleh karenanya, untuk menyelamatkan keyakinan-keyakinan Islam, maka ia menggunakan metode kembali ke pemikiran Salaf.”

18 Hal semacam itu pula yang dinyatakan oleh as-Syahrastani dalam kitab al-Milal wa an-Nihal.Fenomena semacam ini juga bisa kita perhatikan dalam sejarah hidup Abu Hasan al-Asy’ari pendiri mazhab al-Asyariyah. Setelah ia mengumumkan diri keluar dari ajaran Muktazilah yang selama ini ia dapati dari ayah angkatnya, Abu Ali al-Juba’i seorang tokoh Muktazilah di zamannya.


Al-Asy’ari dalam karyanya yang berjudul “al-Ibanah” dengan sangat jelas menggunakan metode mirip yang digunakan oleh Ahmad bin Hanbal. Namun karena ia melihat bahwa metode semacam itu terlampau lemah, maka ia agak sedikit berganti haluan dengan mengakui otoritas akal dalam memahami ajaran agama, walau dengan batasan yang sangat sempit. Oleh karenanya, dalam karya lain yang diberi judul “al-Luma’” nampak sekali betapa ia masih mengakui campur tangan dan keturutsertaan akal dalam memahami ajaran agama, berbeda dengan metode Ahmad bin Hanbal yang menolak total keikutsertaan akal dalam masalah itu.

Dikarenakan al-Asy’ari hidup di pusat kebudayaan Islam kala itu, yaitu kota Baghdad, maka sebutanAhlusunnah pun akhirnya diidentikkan dengan mazhabnya. Sedang mazhab Thohawiyah dan Maturidiyah yang kemunculannya hampir bersamaan dengan mazhab Asyariyah dan memiliki kemiripan dengannya, menjadi kalah pamor di mata mayoritas kaum muslimin, apalagi ajaran Ahmad bin Hanbal sudah tidak lagi dilirik oleh kebanyakan kaum muslimin. Lebih-lebih pada masa kejayaan Ahlusunnah, kemunculan kelompok Salafi kontemporer yang dipelopori oleh Ibnu Taimiyah yang sebagai sempalan dari mazhab ImamAhmad bin Hanbal, pun tidak luput dari ketidaksimpatian kelompok mayoritas Ahlusunnah. Ditambah lagi dengan penyimpangan terhadap akidah Salaf yang dilakukan Salafi kontemporer (pengikut Ibnu Taimiyah)—yang dikomandoi oleh Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi—serta tindakan arogan yang dilancarkan para pengikut Salafi tersebut terhadap kelompok lain yang dianggap tidak sependapat dengan pemikiran mereka.

Kecurangan Kelompok SalafiSetiap golongan bukan hanya berusaha untuk selalu mempertahankan kelangsungan golongannya, namun mereka juga berusaha untuk menyebarkan ajarannya. Itu merupakan suatu hal yang wajar. Akan tetapi, tingkat kewajarannya bukan hanya bisa dinilai dari sisi itu saja, namun juga harus dilihat dari cara dan sarana yang dipakai untuk mempertahankan kelangsungan dan penyebaran ajaran golongan itu. Dari sisi ini, kelompok Salafi banyak melakukan beberapa kecurangan yang belum banyak diketahui oleh kelompok muslim lainnya.Selain kelompok Ahlusunnah biasa, kelompok Ahli Tasawwuf dari kalangan Ahlusunnah dan kelompok Syiah (di luar Ahlusunnah) merupakan kelompok-kelompok di luar Wahabi (Salafi) yang sangat gencar diserang oleh kelompok Salafi.

Kelompok Salafi tidak segan-segan melakukan hal-hal yang tidak ‘gentle’ dalam menghadapi kelompok-kelompok selain Salafi, terkhusus Syiah. Menuduh kelompok lain dari saudara-saudaranya sesama muslim sebagai ahli bid’ah, ahli khurafat, musyrikadalah kebiasaan buruk kaum Salafi, walaupun kelompok tadi tergolong Ahlusunnah. Di sisi lain, mereka sendiri terus berusaha untuk disebut dan masuk kategori kelompok Ahlusunnah. Berangkat dari sini, kaum Salafi selalu mempropagandakan bahwa Syiah adalah satu kelompok yang keluar dari Islam, dan sangat berbeda dengan pengikut Ahlusunnah. Mereka benci dengan usaha-usaha pendekatan dan persatuan Sunnah-Syiah, apalagi melalui forum dialog ilmiah. Mereka berpikir bahwa dengan mengafirkan kelompok Syiah, maka mereka akan dengan mudah duduk bersama dengan kelompok Ahlusunnah.


Padahal realitanya tidaklah semacam itu. Karena mereka selalu menuduh kelompok Ahlusunnah sebagai pelaku Bid’ah, Khurafat, Takhayul dan Syirik. Mereka berpikir, sewaktu seorang pengikut Ahlusunnah melakukan ziarah kubur, tahlil, membaca salawat dan pujian terhadap Nabi, istighotsah, bertawassul dan mengambil berkah (tabarruk) berarti ia telah masuk kategori pelaku syirik atau ahli bid’ah yang telah jelaskonsekuensi hukumnya dalam ajaran Islam.Cara itu juga yang mereka lakukan terhadap para pengikut tasawuf dan tarekat yang banyak ditemui dalam tubuh Ahlusunnah sendiri, khususnya di Indonesia.

Segala bentuk makar dan kebohongan untuk menghadapi rival akidahnya merupakan hal mubah di mata pengikut Salafi (Wahabi), karena kelompok Salafi masih terus beranggapan bahwa selain kelompoknya masih dapat dikategorikan pelaku syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul. Perlakuan mereka terhadap kaum muslimin pada musim haji merupakan bukti yang tidak dapat diingkari.Yang lebih parah dari itu, para pendukung kelompok Salafi—yang didukung dana begitu besar—berani melakukan perubahan pada kitab-kitab standar Ahlusunnah, demi untuk menguatkan ajaran mereka, yang dengan jelas tidak memiliki akar sejarah dan argumentasi (tekstual dan rasional) yang kuat.

Dengan melobi para pemilik percetakan buku-buku klasik agama yang menjadi standar ajaran—termasuk kitab-kitab hadis dan tafsir—mereka berani mengeluarkan dana yang sangat besar untuk mengubah beberapa teks (hadis ataupun ungkapan para ulama) yang dianggap merugikan kelompok mereka.Kita ambil contoh apa yang diungkapkan oleh Syeikh Muhammad Nuri ad-Dirtsawi, beliau mengatakan: “Mengubah dan menghapus hadis-hadis merupakan kebiasaan buruk kelompok Wahabi. Sebagai contoh, Nukman al-Alusi telah mengubah tafsir yang ditulis oleh ayahnya, Syeikh Mahmud al-Alusi yang berjudul Ruh al-Ma’ani. Semua pembahasan yang membahayakan kelompok Wahabi telah dihapus.

Jika tidak ada perubahan, niscaya tafsirbeliau menjadi contoh buat kitab-kitab tafsir lainnya. Contoh lain, dalam kitab al-Mughni karya Ibnu Qodamah al-Hanbali, pembahasan tentang istighotsah telah dihapus, karena hal itu mereka anggap sebagai bagian dari perbuatan Syirik. Setelah melakukan perubahan tersebut, baru mereka mencetaknya kembali.Kitab Syarah Shahih Muslim pun (telah diubah) dengan membuang hadis-hadis yang berkaitan dengan sifat-sifat (Allah), kemudian baru mereka mencetaknya kembali.”

20Namun sayang, banyak saudara-saudara dari Ahlusunnah lalai dengan apa yang mereka lakukan selama ini. Perubahan-perubahan semacam itu, terkhusus mereka lakukan pada hadis-hadis yang berkaitan dengan keutamaan keluarga (Ahlul-Bait) Nabi saw. Padahal, salah satu sisi kesamaan antara Sunni-Syiah adalah pemberian penghormatan khusus terhadap keluarga Nabi. Dari sinilah akhirnya pribadi seperti Sayyid Hasan bin Ali as-Saqqaf menyatakan bahwa mereka tergolong kelompok Nashibi (pembenci keluarga Rasul).Dalam kitab tafsir Jami’ al-Bayan, sewaktu menafsirkan ayat 214 dari surat as-Syu’ara: “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabat-mu yang terdekat,” di situ, Rasulullah mengeluarkan pernyataan berupa satu hadis yang berkaitan dengan permulaan dakwah.


Pada hadis yang tercantum dalam kitab tafsir tersebut disebutkan, Rasul bersabda: “Siapakah di antara kalian yang mau menjadi wazir dan membantuku dalam perkara ini—risalah—maka akan menjadi saudaraku…(kadza…wa…kadza)….” Padahal, jika kita membuka apa yang tercantum dalam Tarikh at-Thabari kata “kadza wa kadza” (yang dalam penulisan buku berbahasa Indonesia, biasa digunakan titik-titik) sebagai ganti dari sabda Rasul yang berbunyi: “Washi (pengganti) dan Khalifahku.” Begitu pula hadis-hadis semisal, “Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya,” yang dulu tercantum dalam kitab Jaami’ al-Ushul karya Ibnu Atsir, kitab Tarikh al-Khulafa’ karya as-Suyuthi dan as-Showa’iq al-Muhriqoh karya Ibnu Hajar yang beliaunukil dari Shahih at-Turmudzi, kini telah mereka hapus.

Melakukan peringkasan kitab-kitab standar, juga sebagai salah satu trik mereka untuk tujuan yang sama.Dan masih banyak usaha-usaha licik lain yang mereka lancarkan, demi mempertahankan ajaran mereka, terkhusus ajaran kebencian terhadap keluarga Nabi. Sementara sudah menjadi kesepakatan kaum muslimin, bahwa mencintai keluarga Nabi adalah suatu kewajiban, sebagaimana Syair yang pernah dibawakan oleh imam Syafi’i:“Jika mencintai keluarga Muhammad adalah Rafidhi (Syiah), maka saksikanlah wahai ats-Tsaqolaan (jin dan manusia) bahwa aku adalah Rafidhi.”21Salafi (Wahabi) dan KhawarijTidak berlebihan kiranya jika sebagian orang beranggapan bahwa kaum Wahabi (Salafi) memiliki banyak kemiripan dengan kelompok Khawarij.

Melihat, dari sejarah yang pernah ada, kelompok Khawarij adalah kelompok yang sangat mirip sepak terjang dan pemikirannya dengan kelompok Wahabi.Oleh karenanya, bisa dikatakan bahwa kelompok Wahabi adalah pengejawantahan kelompok Khawarij di masa sekarang ini. Di sini, secara singkat bisa disebutkan beberapa sisi kesamaan antara kelompok Wahabi dengan golongan Khawarij yang dicela melalui lisan suci Rasulullah saw., di mana Rasul memberi julukan golongan sesat itu (Khawarij) dengan sebutan “mariqiin”, yang berarti ‘lepas’ dari Islam sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya.

22Paling tidak ada enam kesamaan antara dua golongan ini yang bisa disebutkan. Pertama, sebagaimana kelompok Khawarij dengan mudah menuduh seorang muslim dengan sebutan kafir, kelompok Wahabi pun sangat mudah menuduh seorang muslim sebagai pelaku syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul. Yang semua itu adalah ‘kata halus’ dari pengkafiran, walaupun dalam beberapa hal memiliki kesamaan dari konsekuensi hukumnya. Abdullah bin Umar dalam menyifati kelompok Khawarij mengatakan: “Mereka menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir, lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang beriman.”23 Ciri-ciri semacam itu juga akan dengan mudah kita dapati pada pengikut kelompok Salafi (Wahabi) berkaitan dengan saudara-saudaranya sesama muslim.


Bisa dilihat, betapa mudahnya para rohaniawan Wahabi (muthowi’) menuduh para jamaah haji sebagai pelaku syirik dan bid’ah dalam melakukan amalan yang dianggap tidak sesuai dengan akidah mereka.Kedua, sebagaimana kelompok Khawarij disifati sebagaimana yang tercantum dalam hadis Nabi: “Mereka membunuh pemeluk Islam, sedang para penyembah berhala mereka biarkan.”24 maka sejarah telah membuktikan bahwa kelompok Wahabi pun telah melaksanakan prilaku keji semacam itu. Sebagaimana yang pernah dilakukan pada awal penyebaran Wahabisme oleh pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab.

Pembantaian berbagai kabilah dari kaum muslimin mereka lakukan di beberapa tempat, terkhusus di wilayah Hijaz dan Irak kala itu.Ketiga, sebagaimana kelompok Khawarij memiliki banyak keyakinan yang aneh dan keluar dari kesepakatan kaum muslimin, seperti keyakinan bahwa pelaku dosa besar dihukumi kafir, kaum Wahabi pun memiliki kekhususan yang sama.Keempat, seperti kelompok Khawarij memiliki jiwa jumud (kaku), mempersulit diri dan mempersempit luang lingkup pemahaman ajaran agama, maka kaum Wahabi pun mempunyai kendala yang sama.Kelima, kelompok Khawarij telah keluar dari Islam dikarenakan ajaran-ajaran yang menyimpang, maka Wahabi pun memiliki penyimpangan yang sama.

Oleh karenanya, ada satu hadis tentang Khawarij yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahih-nya, yang dapat pula diterapkan pada kelompok Wahabi. Rasul bersabda: “Beberapa orang akan muncul dari belahan bumi sebelah timur. Mereka membaca al-Quran, tetapi (bacaan tadi) tidak melebihi batas tenggorokkan. Mereka telah keluar dari agama (Islam), sebagaimana terkeluar (lepas)-nya anak panah dari busurnya.Tanda-tanda mereka, suka mencukur habis rambut kepala.”

25 Al-Qistholani dalam mensyarahi hadis tadi mengatakan: “Dari belahan bumi sebelah timur,” yaitu dari arah timur kota Madinah semisal daerah Najd.26 Sedang dalam satu hadis disebutkan, dalam menjawab perihal kota an-Najd: “Di sana terdapat berbagai guncangan, dan dari sana pula muncul banyak fitnah.”27 Atau dalam ungkapan lain yang menyebutkan: “Di sana akan muncul qornsetan.” Dalam kamus bahasa Arab, kata qorn berartikan umat, pengikut ajaran seseorang, kaum atau kekuasaan.28Sedang kita tahu, kota Najd adalah tempat lahir dan tinggal Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi, pendiri Wahabi.

Kota itu sekaligus sebagai pusat Wahabisme, dan dari situlah pemikiran Wahabisme disebarluaskan ke segala penjuru dunia. Banyak tanda zahir dari kelompok tersebut. Selain mengenakan celana atau gamis hingga betis, mencukur rambut kepala sedangkan jenggot dibiarkan bergelayutan tidak karuan adalah salah satu syiar dan tanda pengikut kelompok ini.Keenam, sebagaimana kelompok Khawarij meyakini bahwa “negara muslim” (Daar al-Salam) jika penduduknya banyak melakukan dosa besar, maka dapat dikategorikan “negara zona perang” (Daar al-Harb), kelompok radikal Wahabi pun meyakini hal tersebut.

Sekarang ini dapat dilihat, bagaimana kelompok-kelompok radikal Wahabi—seperti al-Qaedah—melakukan aksi teror di berbagai tempat yang tidak jarang kaum muslimin juga sebagai korbannya.Tulisan ringkas ini mencoba untuk mengetahui tentang apa dan siapa kelompok Salafi (Wahabi). Semoga dengan pengenalan ringkas ini akan menjadi kejelasan akan kelompok yang disebut-sebut sebagai Salafi ini, yang mengaku penghidup kembali ajaran Salaf Saleh. Sehingga kita bisa lebih berhati-hati dan mawas diri terhadap aliran sesat dan menyesatkan yang telah menyimpang dari Islam Muhammadi tersebut.


Penulis: Adalah mahasiswa pasca sarjana Perbandingan Agama dan Mazhab di Universitas Imam Khomeini Qom, Republik Islam Iran.Rujukan:2 Lisan al-Arab, jil. 6, hal. 330.3 As-Salafiyah Marhalah Zamaniyah, hal. 9, karya Dr. M Said Ramadhan Buthi.4 As-Shohwat al-Islamiyah, hal. 25, karya al-Qordhowi.5 Al-Aqoid as-Salafiyah, hal. 11, karya Ahmad bin Hajar Aali Abu Thomi.6 Al-Madzahib al-Islamiyah, hal. 331, karya Muhammad Abu Zuhrah.7 Untuk lebih jelasnya, dapat ditelaah lebih lanjut kitab tebal karya penulis Arab al-Ustadz Nasir as-Sa’id tentang sejarah kerajaan Arab Saudi yang diberi judul “Tarikh aali Sa’ud.” Karya ini berulang kali dicetak. Di situ dijelaskan secara detail sejarah kemunculan keluarga Saud di Jazirah Arab hingga zaman kekuasaan raja Fahd. Dalam karya tersebut, as-Said menetapkan bahwa keluarga Saud (pendiri) kerajaan Arab Saudi masih memiliki hubungan darah dan emosional dengan Yahudi Arab.8 Selengkapnya silakan lihat: As-Salafiyah al-Wahabiyah, karya Hasan bin Ali as-Saqqaf, cet. Daar al-Imam an-Nawawi, Amman-Yordania.9 Al-Milal wa an-Nihal, jil. 1, hal. 165, karya as-Syahrastani.10 Fi ‘Aqo’id al-Islam, hal. 155, karya Muhammad bin Abdul Wahab (dalam kumpulan risalah-nya).11 Ayat-ayat al-Quran yang berbunyi “afalaa ta’qiluun” (Apakah kalian tidak memakai akal) atau “Afalaa tatafakkarun” (Apakah kalian tidak berpikir) dan semisalnya akan sangat mudah kita dapati dalam al-Quran.Ini semua salah satu bukti konkret bahwa al-Quran sangat menekankan penggunaan akal dan mengakui keikutsertaan akal dalam memahami kebenaran ajaran agama.12 Q.S. Thoha: 5.13 Al-Washiyah al-Kubra, hal. 31 atau Naqdhu al-Mantiq, hal. 119 karya Ibnu Taimiyah.14 Q.S. as-Syura: 11.15 Al-Milal wa an-Nihal, jil. 1, hal. 84.16 Banyak hal yang terbukti dengan argumen teks yang mencakup ayat, riwayat, ungkapan dan sirah para sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in diperbolehkan, namun pada kelompok Salafi (Wahabi) mengharamkannya, seperti masalah; membangun dan memberi cahaya lampu pada kuburan, berdoa di samping makam para kekasih Ilahi (waliyullah), mengambil berkah dari makam kekasih Allah, menyeru atau meminta pertolongan dan syafaat dari para kekasih Allah pasca kematian mereka, bernazar atau sumpah atas nama para kekasih Allah, memperingati dan mengenang kelahiran atau kematian para kekasih Allah, bertawassul, dan melaksanakan tahlil (majelis fatihah)…semua merupakan hal yang diharamkan oleh para kelompok Salafi, padahal banyak ayat dan riwayat, juga prilaku para Salaf yang menunjukkan akan diperbolehkannya hal-hal tadi.17Salah satu bentuk penyimpangan kelompok Wahabi terhadap ajaran Imam Ahmad bin Hanbal adalah pengingkaran Ibnu Taimiyah terhadap berbagai hadis berkaitan dengan keutamaan keluarga Rasul saw., yang Imam Ahmad sendiri meyakini keutamaan mereka dengan mencantumkannya dalam kitab Musnad-nya. Dari situ akhirnya Ibnu Taimiyah bukan hanya mengingkari hadis-hadis tersebut, bahkan melakukan pelecehan terhadap keluarga Rasul, terkhusus Ali bin Abi Thalib as. (lihat: Minhaj as-Sunnah, jil. 8, hal. 329.) Dan terbukti, kekhilafahan Ali sempat “diragukan” oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “Minhaj as-Sunnah” (lihat: jil. 4, hal. 682), dan ia termasuk orang yang menyebarluaskan keraguan itu. Padahal, semua kelompok Ahlusunnah “meyakini” akan kekhilafahan Ali. Lantas, masihkah layak Ibnu Taimiyah beserta pengikutnya mengaku sebagai pengikut Ahlussunnah?18Al-Aqidah li al-Imam Ahmad bin Hanbal, hal. 38.19 As-Salafiyah baina Ahlusunnah wa al-Imamiyah, hal. 680.20 Rudud ‘ala Syubahaat as-Salafiyah, hal. 249.21 Diwan as-Syafi’i, hal. 55.22 Musnad Ahmad, jil. 2, hal. 118.23 Shahih Bukhari, jil. 4, hal. 197.24 Majmu’ al-Fatawa, jil. 13, hal. 32, karya Ibnu Taimiyah.25 Shahih Bukhari, “kitab at-Tauhid”, bab 57, hadis ke-7123.26 Irsyad as-Saari, jil. 15, hal. 626.27 Musnad Ahmad, jil. 2, hal. 81 atau jil. 4, hal. 5.28 Al-Qomuus, jil. 3, hal. 382, kata: “Qo-ro-na.”Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa selain (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (QS. An Nisaa’ : 48)Dari Abu Dzar ra., Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Jibril berkata kepadaku, ‘Barangsiapa diantara umatmu yang meninggal dunia dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka pasti dia masuk surga’” (HR. Bukhari) [Hadits ini terdapat pada Kitab Shahih Bukhari]
diambil dari : http://dervishwarrior.blogspot.com/

HAID

HAIDH (MENSTRUASI)

Oleh : ABU ACHMAD


Bismillaah

Hamidanlillaah wamusholliyan ‘alaa Rosulillah SHOLALLOHU ‘ALAIHI WASALLAM

wa’alaa aalihii washohbihii wa atbaa’ihii ajma’iin.

BAB 1. HAIDH

Haidh adalah sebuah kebiasaan bagi tiap2 wanita dalam tiap bulannya.Bagi setiap muslimah wajib mengerti tentang masalah haidh ini.Mulai dari pertama kali menstruasi,seorang wanita muslimah sudah dikatakan balighoh dan mulai saat itulah dia disebut mukallaf,artinya dia harus siap menjaga tugas-tugasnya sebagai seorang muslimah,beribadah kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan perintah Allah Ta’ala dan menjauhi segala larangan2Nya. Dia sudah harus memikul tugas dan kewajiban2 agamanya hingga dia kembali pulang ke rahmatullah dan bertanggung jawab dengan segala amal perbuatannya.

Minimal usia wanita haidh itu apabila ia sudah umur 9 tahun Qomariyyah dan bukan memakai kalender syamsiyyah atau nasional/umum. Hitungan mudahnya 9 tahun qomariyyah itu adalah 3189 hari lebih 1 jam 12 menit, ini dihitung mulai ia lahir dari ibunya. Jadi kalau ada seorang wanita mengeluarkan darah dari rahimnya dan dia belum berumur 9 tahun maka itu bukan darah haidh tetapi darah fasad atau penyakit.Dan itu tidak jadi ukuran untuk menetapkan bahwa dia sudah balighoh.

DASAR HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN MASALAH HAIDH.
Dalam Alqur’an al kariem Allah Ta’ala berfirman :”Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haidh.Katakanlah:”Haidh itu adalah kotoran”.Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkn diri (tidak boleh menjima’) dari wanita diwaktu haidh dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci (sebelum mandi jinabah).Apalabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu.Sesungguhnya Allah menyukai orang2 yang bertaubat dan menyukai orang2 ang mensucikan diri”.(Q.S.Al baqoroh 222).

Sebab turunnya ayat tersebut adalah bahwa orang2 yahudi kalau isterinya sedang haidh maka tidak boleh ada didalam rumah,harus keluar dari rumah,tidak boleh makan bersama suaminya dan lain2.Akhirnya para sahabat bertanya kepada Rosulullah SHOLALLOHU ‘ALAIHI WASALLAM,maka kemudian turunlah ayat tersebut.Lalu Rosulullah SHOLALLOHU ‘ALAIHI WASALLAM bersabda :”Ishna’uu kulla syai’in illaa annikaah…Artinya kalian boleh melakukan apa saja terhadap istri yang sedang haidh kecuali jima’/bersetubuh.Dalam hadits AlBukhori & Muslim nabi SHOLALLOHU ‘ALAIHI WASALLAM bersabda:”Haadzaa syai’un katabahullohu ‘alaa banaati aadam”..Artinya haidh adalah salah satu ketentuan dari Allah untuk setiap wanita.

Sebelum kita masuk inti pembahasan haidh dan contoh2nya,berikut ini kita ketahui dulu apa2 saja yang diharamkan agama bagi setiap wanita yang sedang haidh. Yaitu pertama, Sholat.Baik sholat fardhu ataupun sunah.

Disamping haram,sholatnyapun tidak sah.Wanita haidh tidak wajib mengqodho sholatnya.Dalil haramnya sholat bagi wanita haidh adalah Alquran,surat Annisaa 43 juga hadits dari Ibnu Umar bahwa beliau mendengar nabi SHOLALLOHU ‘ALAIHI WASALLAM bersabda:”Laa tuqbalu sholaatun bighoiri thuhuurin”.(HR Muslim 224).Artinya sholat tidak diterima dalam keadaan tidak suci.


Kedua, Puasa.Baik puasa fardhu seperti romadhon,nadzar dan qodho romadhon juga puasa sunah seperti senin,kamis,tanggal 13,14,15 dll.Disamping haram haram puasanya juga tidak sah.Cuman saja wanita haidh ini wajib mengqodlo puasa.Karena ada hadits dari ‘Aisyah bahwa kami diperintahkan oleh rosulullah SHOLALLOHU ‘ALAIHI WASALLAM untuk mengqodho puasa tapi tidak diperintah mengqodho sholat.Dalilnya adalah hadits Rosulullah SHOLALLOHU ‘ALAIHI WASALLAM riwayat Al-Bukhori no 315 dan 298 juga dalam riwayat muslim hadits no 335 dan 80.


Ketiga, Membaca Al qur’an.baik satu ayat atau lebih bahkan satu kalimatpun kalau diniatkan membaca alqur’an maka hukumnya haram. Dalilnya adalah sebuah hadits Rosulullah SHOLALLOHU ‘ALAIHI WASALLAM bersabda:”Laa taqro’i al junubu walal haaidhu syai’an minal qur’an”.Arinya Orang junub dan haidh tidak boleh membaca alqur’an. Kalau tidak bertujuan membaca alqura’an seperti membaca bismillahirrohmaanirrohim ketika mau makan,minum dll, atau mengucapkan innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun ketika terkena musibah maka hukumnya tidak haram.


Keempat, Memegang mushaf (al qur’an).Dalilnya adalah alqur’an :”Laa yamassuhuu illal muthohharuun”.(Al waaqi’ah 79).Artinya tidak menyentuhnya kecuali hamba2 yang disucikan.juga didukung sebuah hadits rosulullah saw :”Laa yamassul qur’an illaa thoohir”.Artinya tidak boleh memegang alquran kecuali dalam keadaan suci.
Diam didalam masjid.Dalilnya adalah hadits Rosulullah saw:”Laa uhillu almasjida li haa’idhin walaa junubin”.(HR Abu Dawud 232).Artinya Aku tidak halalkan masjid untuk orang haidh dan junub.Kalau hanya lewat dan yakin kalau darahnya tidak menetes dan jatuh dimasjid maka hukumnya boleh.

Kelima, Thowaf, baik thowaf rukun seperti thowaf ifadhoh atau thowaf wajib seperti thowaf wada’ (perpisahan/pamitan),ataupun thowaf sunah seperti thowaf qudum (pertama/selamat datang).karena thowaf hukumnya sama seperti sholat,artinya harus suci dari hadas.Dalilnya adalah hadits Rosulullah saw:”Aththowaafu bil baiti sholaatun,illaa annallooha ahalla lakum fiihi alkalaamu,faman takallama falaa yatakallam illaa bi khoirin”.Artinya Thowah di baitulloh adalah sholat,hanya saja Allah memperbolehkan bicara dalam thowaf,barang siapa berbicara saat thowaf,maka bicaralah yang baik.(HR Al Hakim 1/459 dengan isnad yang shohih).


Keenam, Jima’.yaitu bersetubuh dalam keadaan haidh.Dalilnya adalah Alquran :”Walaa taqrobuuhunna hattaa yathhurna…”.Artinya janganlah mendekati mereka (para istri) kecuali setelah mereka suci.(QS Al Baqoroh 222).Maksud dari kalimat jangan mendekati adalah jangan menjima’.


MASA HAIDH
Masa haidh itu ada yang disebut Al Aqoll atau masa minimal,ada yang disebut Al ghoolib atau masa yang umum dan ada yang disebut Al Aktsar atau waktu maksimal.

Waktu minimal keluarnya darah haidh adalah sehari semalam atau dalam hitungan 24 jam,hal itu kalau darah terus merembes keluar,artinya jika diambil kapas dan ditempelkan kerahim maka darahnya nyata ada atau kelihatan.Jadi misalnya ada seorang wanita haidh mengeluarkan darah pada hari pertama 10 jam,hari kedua 8 jam,hari ketiga 6 jam.terus darah berhenti,jadi genap 24 jam.maka wanita ini berarti haidh pada masa Al aqoll.Wanita ini tidak wajib mengqodho sholatnya.Kalau dihitung sampai saat darah berhenti tadi kurang dari 24 jam,maka itu berarti bukan darah haidh tapi disebut darah penyakit,fasad atau istihadhoh.wanita yang seperti ini wajib mengqodho sholatnya.

Adapun masa umumnya haidh adalah 6 atau 7 hari,walaupun darah yang keluar tidak terus menerus merembes keluar.Tapi darah yang tidak terus menerus keluarnya kemudian dihukumi darah haidh itu syaratnya masa keluarnya darah dalam 6 atau 7 hari itu kalau dihitung ada 24 jam atau lebih.kalau kurang dari 24 jam maka bukan darah haidh tapi darah fasad atau istihadhoh.

Contoh..umpamanya Aiysah mengeluarkan darah selama 7 hari, setiap sehari semalam hanya 3 jam, jadi kalau dihitung 3 jam x 7 hari =21 jam.berarti kurang dari 24 jam.maka darah selama 7 hari itu bukan darah haidh tapi darah penyakit atau istihadhoh.Karena bukan darah haidh maka Aiysah harus mengqodho sholat yang ditinggalkannya selama 7 hari itu.

Apabila Aiysah dalam 7 hari itu, setelah mengumpulkan dan menghitung masa masa keluarnya darah dan ternyata ada 24 jam atau lebih.maka masa 7 hari itu adalah haidh dan waktu2 yang sempat tidak mengeluarkan darah itu tetap dihukumi masa haidh.Jadi Aiysah tidak wajib mengqodho sholatnya selama 7 hari itu.

Sedangkan maksimal masa haidh adalah 15 hari walaupun darah yang keluar tidak terus menerus merembes.Tapi darah yang tidak terus menerus keluar dalam masa 15 hari ini dihukumi haidh syaratnya pada masa keluarnya darah apabila dikumpulkan dan dihitung ada 24 jam atau lebih.kalau tidak ada 24 jam maka bukan darah haidh tapi darah penyakit atau istihadhoh.

Contoh: Didalam masa 15 hari si ita mengeluarkan darah setiap harinya mengeluarkan darah hanya 1 jam, jadi dalam 15 hari hanya 15 jam. maka semua itu bukan darah haidh tapi darah penyakit atau istihadhoh.jadi si ita harus mengqodlo sholat yang ditinggalkannya selama 15 hari itu.

Apabila si ita dalam 15 hari itu setelah mengumpulkan dan menghitung masa keluarnya darah dan ternyata ada 24 jam atau bahkan lebih maka 15 hari itu dihukumi haidh dan masa masa kosong/tidak mengeluarkan darah di dalam 15 hari itu tetap dihukumi masa haidh.Jadi ita tidak wajib mengqodho sholat selama 15 hari itu.


Apabila darah masih keluar setelah 15 hari dan seterusnya,maka darah tersebut bukan darah haidh,tapi darah istihadhoh, jadi tanggal 16 ita harus mandi besar dan wajib sholat,puasa dan lain-lain, walaupun darah masih keluar. Sebab orang istihadhoh itu hukumnya adalah orang yang suci.

SUCI DARI HAIDH
Secara umum semua wanita tiap bulan pasti mengalami haidh dan suci. Minimal masa suci di antara dua haidh yaitu 15 hari.Karena maksimal masa haidh itu 15 hari,maka otomatis minimal masa suci antara dua haidh yaitu 15 hari. Kalau masa suci antara haidh dan nifas bisa saja kurang dari 15 hari. Suci antaranya haidh dan nifas ada yang haidh dulu lalu suci,kemudian nifas. Dan ada yang nifas dulu lalu suci,kemudian haidh.Tapi keluarnya darah harus setelahnya nifas berjalan hingga 60 hari yaitu masa maksimal nifas.Karena kalau banyaknya nifas itu belum sampai 60 hari, kemudian wanita itu mengeluarkan darah,maka darah itu bukan darah haidh. Kecuali kalau antara berhentinya darah nifas dan keluarnya darah kembali (selanjut)nya itu ada masa 15 hari lebih.

Umumnya suci yaitu sisanya masa 1 bulan setelah haidhnya menetapi keumuman.Jadi kalau seorang wanita haidh 6 hari,berarti sucinya 24 hari. kalau haidhnya 7 hari,berarti sucinya 23 hari.

Maksimal masa suci itu tidak terbatas.Terkadang ada seorang wanita yang haidhnya hanya 1 kali kemudian tak pernah haidh lagi,dan kadang ada yang tidak haidh sama sekali seumur hidupnya,sehingga suci terus, seperti sayyidah maryam binti imron ibunda nabi Isa dan sayyidah Fathimah azzahro putri baginda Rosulullah SHOLALLOHU ‘ALAIHI WASALLAM.

Referensi :

Masaail Annisaa’ karya Asy-Syekh Mishbah Zainal-Musthofa.
Al Fiqhul-Manhajy ‘alaa Madzhabi al imaami Asy-Syaafi’i karya Dr Musthofa Al khin, Dr Musthofa Al Bughoo dan Asysyekh ‘Aly Asy-Syuraihy.

sate kuda

Hari selasa 30 oktober 2007, Ridlo Assegav, santri luar yang masih sergep ngaji di MIM-Tulungagung ini bertanya tentang mulai maraknya Sate Kuda di kota Tulungagung, Blitar, Kediri bahkan Lawang Malang. "Gimana ustadz, hukum makan sate kuda?" Tanya Santri yang pernah hampir setahun diet superketat ini.

Khuwaidimul Ma'had Ibnu Mas'ud langsung menjelaskan sebagai berikut:

Hukum Sate Kuda

Hukum sate kuda tergantung pada hukum daging kuda. Sedang daging kuda (lahm al-khayl) hukumnya halal. Di antara para ulama yang menghalalkan daging kuda adalah Zaid bin Tsabit RA, Imam Asy-Syafi’i, dua sahabat Imam Abu Hanifah (yaitu Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hasan), Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ishaq, serta jumhur ulama salaf dan khalaf (Lihat Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, IV/74).

Dalil halalnya daging kuda adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Jabir RA bahwa Rasulullah SAW pada Perang Khaybar (yauma khaybar) telah melarang daging-daging keledai jinak dan mengizinkan daging kuda (Lihat Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, IV/73; Syaikh Asy-Syarbaini Al-Khathib, Al-Iqna’, II/274). Dalil lainnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Asma` binti Abu Bakar Ash-Shiddiq, dia berkata,"Kami telah menyembelih seekor kuda pada masa Rasulullah SAW, lalu kami memakannya." (Muttafaq ‘alayh). Dalam satu riwayat, ada tambahan, "...sedang kami di Madinah." (Subulus Salam, IV/78). Kedua dalil ini dengan jelas telah menghalalkan makan daging kuda.

Tetapi, sebagian ulama mengharamkan makan daging kuda. Mereka adalah Imam Malik, Imam Abu Hanifah, ulama Al-Hadawiyah, dan pendapat yang masyhur di kalangan para ulama Hanafiyah (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, IV/73; Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, I/379). Dalilnya adalah hadits dari Khalid bin Al-Walid RA, bahwa Rasulullah SAW telah melarang makan daging kuda, baghal, keledai dan setiap binatang buas yang bertaring (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah. Lihat Imam As-Suyuthi, Al-Jami’ Ash-Shaghir, hal. 191; Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, IV/74).

Pendapat yang mengharamkan daging kuda ini lemah. Sebab banyak ulama yang tidak menerima hadits Khalid tersebut dan menganggapnya sebagai hadits dhaif (lemah), sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Imam Al-Bayhaqi mengatakan," Isnad [hadits] ini mudhtarib (1), menyalahi riwayat orang-orang yang tsiqat (2)," Imam Al-Bukhari berkata tentang dua perawi di antara para perawi hadits tersebut, yaitu Abu Shalih Tsaur bin Yazid dan Sulaiman bin Salim,"Perlu dipertimbangkan (fiihi nazhar)." Imam Ahmad, Ad-Daruquthni, Al-Khaththabi, Ibnu Abdil Barr, dan Abdul Haq mendhaifkan hadits ini (Subulus Salam, IV/74). Imam Ahmad dan lainnya mengatakan," [Hadits ini] munkar (3)." Sedang Abu Dawud mengatakan," [Hadits ini] mansukh (dihapus hukumnya)." (Syaikh Asy-Syarbaini Al-Khathib, Al-Iqna’, II/274).

Dengan demikian, karena hadits Khalid bin Al-Walid ini dhaif (lemah), maka hadits tersebut tidak dapat dijadikan dalil haramnya daging kuda. Namun andaikata saja hadits tersebut sahih atau hasan, sehingga dapat dijadikan dalil, maka harus dilakukan tarjih antara hadits Khalid bin Al-Walid ini yang melarang daging kuda dengan hadits-hadits Jabir dan Asma` yang menghalalkan daging kuda. Dalam hal ini, Imam As-Suyuthi menilai bahwa hadits Khalid bin Al-Walid adalah hadits hasan, sehingga layak dijadikan hujjah (dalil) (Lihat Imam As-Suyuthi, Al-Jami’ Ash-Shaghir, hal. 191).

Di antara kaidah tarjih dalam ilmu ushul fiqih; jika satu hadits melarang (naahi) sedang hadits lainnya membolehkan (mubiih), maka yang lebih rajih (kuat) adalah hadits yang membolehkan. Mengapa demikian? Sebab mengamalkan dalil yang melarang, akan menghilangkan pengamalan dalil lainnya (yang membolehkan) secara keseluruhan. Jadi di sini hanya diamalkan satu dalil saja (dalil yang melarang). Sedang mengamalkan dalil yang membolehkan, akan dapat sekaligus mengamalkan dua dalil, yaitu dalil yang membolehkan dan juga dalil yang melarang. Sebab, tujuan dari mengamalkan dalil yang membolehkan, adalah menta`wil adanya larangan dengan mengalihkan maknanya menuju pembolehan (ibahah). Padahal pembolehan itu sudah jelas ditunjukkan oleh dalil yang membolehkan (mubiih). Maka, hadits yang membolehkan lebih rajih daripada hadits yang melarang, sebab mengamalkan dua dalil adalah lebih utama daripada membatalkan salah satunya (i’maal ad-daliilayni awla min ta’thiili ahadihimaa) (Lihat Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, I/242-243; Saifuddin Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ihkam, IV/365-366).

Jika kaidah tarjih ini diterapkan, maka hadits Jabir (yang membolehkan daging kuda) adalah lebih rajih (kuat) daripada hadits Khalid (yang melarang daging kuda). Jadi, andaikata saja hadits Khalid tersebut tidak dhaif, tetapi hasan, seperti penilaian Imam As-Suyuthi, tetap saja ia merupakan hadits yang marjuuh (tidak kuat), yang tidak dapat diamalkan. Maka yang diamalkan adalah hadits Jabir yang menghalalkan daging kuda.

Kesimpulannya, makan daging kuda hukumnya adalah halal. Inilah pendapat yang rajih menurut pemahaman kami. Wallahu a’lam. [ ]

tulungagung, 31 okt. 2007

Abu Achmad Qowim Syibly Abu Arovah

mimtulungagung. wordpress. com

mimtulungagung. blogspot. com

CATATAN KAKI:

(1). Hadits mudhtarib adalah hadits yang diriwayatkan dengan redaksi (matan) yang berbeda-beda dan saling bertentangan yang sama kekuatannya, yakni tidak dapat dikumpulkan (jama’/tawfiiq) dan juga tidak dapat ditarjih (Lihat Mahmud Ath-Thahhan, Taysir Musthalah Al-Hadits, hal. 112; Imam Abul Hasan Al-Jurjani, Inti Sari Ilmu Hadits (Al-Mukhtashar fi Ushul Al-Hadits), hal. 42; M.M. Azami, MA, Ph.D, Memahami Ilmu Hadits, hal. 115-116; Fatchur Rahman, Ikhtishar Musthalahul Hadits, hal. 163).

(2) Tsiqat, adalah perawi yang memiliki sifat adil (tidak fasiq) dan dhabit (kuat hapalan) (Lihat Imam Abul Hasan Al-Jurjani, Inti Sari Ilmu Hadits [Al-Mukhtashar fi Ushul Al-Hadits], hal. 24).

(3) Hadits Munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dhaif, menyalahi apa yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (definisi Ibnu Hajar Al-Asqalani) . Definisi kedua, hadits munkar adalah hadits yang dalam isnadnya ada perawi yang banyak kesalahannya [dalam menyampaikan hadits], atau banyak kelengahannya [dalam menerima hadits], atau jelas kefasikannya (Lihat Mahmud Ath-Thahhan, Taysir Musthalah Al-Hadits, hal. 95-96; Fatchur Rahman, Ikhtishar Musthalahul Hadits, hal. 158-159).

Sunday, September 16, 2007

TAROWIH






















SELAMAT MENJALANKAN PUASA ROMADLON 1428 H


Romadlon Ke-2


Hari ini santri-santri MIM-Tulungagung kembali ke asrama/ma'hadnya. Bahkan Arif dari Surabaya sudah datang hari Ahad kemarin diantar oleh ayahnya . Dan hari ini Thoriq dan Shidqi berangkat dari Kediri tanpa diantar oleh orangtuanya. Meskipun dalam perjalanan Thoriq sempat muntah karena mabuk perjalanan, akan tetapi dia ataupun adiknya tetap semangat untuk beangkat mencari ilmu. Bagi Thoriq Romadlon ini adalah Romadlon ke-2 dia di MIM-Tulungagung. Semoga Alloh Ta'ala memberi keberkahan kepada semua santri yang mondok di MIM-Tulungagung pada Romadlon ke-2 ini. Juga kepada keluarga khususnya ke-2 orangtuanya, guru-gurunya dan siapa saja yang ikut membantu terlaksananya kegiatan di MIM-Tulungagung.

Pada Romadlon ke-2 ini Pengasuh MIM-Tulungagung akan mBala (istilah ngajar dengan kitab atau membacakan kitab di pondok-pondok salaf) kitab Fadlo'ilul Qur'an yang berisikan 15 Hadits dengan terjemahannya tentang keutamaan Al-Qur'an. Kitab ini dipilih karena hanya berharap keberkahan dan syafaat Al-Qur'an dan yang membawa Al-Qur'an ; baginda Rosululloh Shollallohu 'Alaihi Wasallam. Selain itu semoga tumbuh dan bertambah motifasi jasmani dan ruhani pada para santri untuk belajar dan mengajarkan Al-Qur'an.

Monday, September 3, 2007

menyambut ROMADLON

BIASANYA KITA MENYAMBUT ROMADLON TIDAK HANYA MARHABANAN SAJA. TAPI YANG LEBIH UTAMA ADALAH NGELMONI & MEMBACA KEMBALI HAL2 TENTANG PUASA DLL. DAN SARANA UTAMA DI JAMAAH KITA YA.. BUKU ROMADLON HARUS SIAP SEDIA. GAK KALAH DENGAN KOTAK P3K. GIMANA KLO AKHUYA.2 ATAU AKHI-AKHI YANG CANGGIH-CANGGIH... DAN AKHI-AKHI LAIN YANG UDA PUNYA PDF-NYA ROMADLON, IMAMAH, KAIFATUSHOLLI MOHON BAGI2..

AYO BELI QUR'AN BARU klo bisa YANG FULLCOLOR (ILMU & WARNA TAJWID). BIAR TAMBAH SEMANGAT & NAMBAH BACAAN DI BULAN ROMADLON.
TV DAN HP ANTUM SEMUA UDA FULLCOLOR BAHKAN MINIMAL 65RB-123JUTA WARNA, TAPI QUR'ANYA MASIH QUR'AN KELUARGA, MASIH HITAM PUTIH LAGI. ALHAMDULILLAH MASIH DIBACA MESKI SERING JUGA DEBUNYA MASIH NGEPUL...

AYOO... BELI KAYU SIWAK... SYUKUR MASIH ADA YANG LAMA

AYOOO BELI KURMA....

AYOOOO BELI JUBAH ATAU MEKENAH PUTIH POLOS AJA.... SYUKUR MASIH ADA LAMA...

AYOOOOOO DIKHOTAMKAN ALQUR'ANNYA DI BULAN SYA'BAN INI... TERAKHIR TANGGAL 12 SEPTEMBER.... AWAL ROMADLON KITA MULAI JUZ PERTAMA....

MOHON MAAF ATAS SEGALA KHILAF....
SMOGA MENANGI ROMADLON...
AMIN....

MAR_HABAN YAA ROMADLOON

JUD LANAA BIL GHUFROON....!

Monday, August 27, 2007

SHOLAT SUNNAH SUBUH

1. LEBIH SINGKAT DARI SHOLAT SUNNAH LAINNYA
2. SETELAH ALFAATIHAH ROKAAT PERTAMA BACA SURAT ALBAQOROH AYAT 136 ROKAAT KE DUA SURAT ALI IMRON 64 ATAU 52 ATAU ALKAAFIRUUN DAN AL-IKHLASH.
يستحب تخفيف سنة الفجر وقد
سبق في باب صفة الصلاة في فصل قراءة السورة أنه يسن أن يقرأ فيهما بعد الفاتحة قولوا آمنا بالله وما أنزل الينا الآية وفى الثانية قل يا أهل الكتاب تعالوا الآية أو قل يا أيها الكافرون وقل هو الله احد وذكرنا هناك أحاديث صحيحة في هذا ومما يستدل به لا يستحب تخفيفها حديث عائشة رضي الله عنها قالت " كان النبي صلي الله عليه وسلم يخفف الركعتين اللتين قبل صلاة الصبح حتي انى لاقول هل قرأ بام الكتاب " رواه البخاري ومسلم وعنها قالت " كان رسول الله صلي الله عليه وسلم يصلي ركعتي الفجر إذا سمع الاذان ويخففهما " رواه البخاري ومسلم

TENTANG SHOLAT WITIR

DARI ALMAJMU' SYARAH MUHADZ-DZAB JUZ 4 HAL 11-29 TERDAPAT KKETERANG DAN ILMU YANG SANGAT LENGKAP TENTANG SHOLAT WITIR. DARI CARA PELAKSANAAN HINGGA HUBUNGAN DENGAN LUPA MELAKUKANNYA SAMPAI HUBUNGANNYA DENGAN SHOLAT SUNNAH FAJAR.
(وأما الوتر فهو سنة لما روى أبو أيوب الانصاري رضى الله عنه أن النبي صلي الله عليه وسلم قال " الوتر حق وليس بواجب فمن أحب أن يوتر بخمس فليفعل ومن أحب ان يوتر بثلاث فليفعل ومن احب ان يوتر بواحدة فليفعل " واكثره إحدى عشرة ركعة لما روت عائشة رضي الله عنها ان النبي صلي الله عليه وسلم " كان يصلي من الليل إحدى عشرة ركعة يوتر فيها بواحدة " واقله ركعة لما ذكرناه من حديث ابي ايوب وادني الكمال ثلاث ركعات يقرأ في الاولى بعد الفاتحة (سبح اسم ربك الاعلي) وفى الثانية (قل يا ايها الكافرون) وفى الثالثة (قل هو الله احد) (والمعوذتين) لما روت عائشة رضى الله عنها ان النبي صلي الله عليه وسلم قرأ ذلك والسنة لمن أوتر بما زاد على ركعة أن يسلم من كل ركعتين لما روى ابن عمر رضي الله عنه أن النبي صلي الله عليه وسلم كان يفصل بين الشفع والوتر ولانه يجهر في الثالثة ولو كانت موصولة بالركعتين لما جهر فيها كالثالثة من المغرب ويجوز أن يجمعها بتسليمة لما روت عائشة رضى الله عنها أن النبي صلي الله عليه وسلم كان لا يسلم في ركعتي الوتر والسنة أن يقنت في الوتر في النصف الاخير من شهر
[ 12 ]
رمضان لما روى عن عمر رضى الله عنه أنه قال السنة إذا انتصف الشهر من رمضان أن تلعن الكفرة في الوتر بعد ما يقول سمع الله لمن حمده ثم يقول اللهم قاتل الكفرة وقال أبو عبد الله الزبيري يقنت في جميع السنة لما روى أبى بن كعب أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يوتر بثلاث ركعات ويقنت قبل الركوع والمذهب الاول وحديث أبى بن كعب غير ثابت عند أهل النقل ومحل القنوت في الوتر بعد الرفع من الركوع ومن أصحابنا من قال محله في الوتر قبل الركوع لحديث أبى بن كعب والصحيح هو الاول لما ذكرت من حديث عمر رضي الله عنه ولانه في الصبح يقنت بعد الركوع فكذلك الوتر ووقت الوتر ما بين أن يصلي العشاء إلى طلوع الفجر الثاني لقوله عليه الصلاة والسلام إن الله تعالي زادكم صلاة وهى الوتر فصلوها من صلاة العشاء إلي طلوع الفجر فان كان ممن له تهجد فالاولى أن يؤخره حتى يصليه بعد التهجد وإن لم يكن له تهجد فالاولي أن يصليه بعد سنة العشاء لما روي جابر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال من خاف منكم أن لا يستيقظ من آخر الليل فليوتر من أول الليل ثم ليرقد ومن طمع منكم أن يقوم من آخر الليل فليوتر آخر الليل) * (الشرح) الوتر سنة عندنا بلا خلاف واقله ركعة بلا خلاف وادني كماله ثلاث ركعات واكمل منه خمس ثم سبع ثم تسع ثم احدى عشرة وهى اكثره على المشهور في المذهب وبه قطع المصنف والاكثرون وفيه وجه ان اكثره ثلاث عشرة حكاه جماعة من الخراسانيين وجاءت فيه احاديث صحيحة ومن قال باحدى عشرة بتأولها على ان الراوى حسب معها سنة العشاء ولو زاد على ثلاثة عشرة لم يجز ولم يصح وتره عند الجمهور وفيه وجه حكاه امام الحرمين وغيره انه يجوز لان النبي صلي الله عليه وسلم فعله على اوجه من اعداد من الركعات فدل علي عدم انحصاره وأجاب الجمهور عن هذا بان اختلاف الاعداد انما هو فيما لم يجاوز ثلاثة عشرة ولم ينقل مجاوزتها فدل علي امتناعها والخلاف شبيه بالخلاف في جواز القصر فيما زاد علي اقامة ثمانية عشر يوما وفى جواز الزيادة علي انتظارين في صلاة الخوف وإذا أوتر باحدى عشرة فما دونها فالافضل ان يسلم من كل ركعتين للاحاديث الصحيحة التى سأذكرها ان شاء الله تعالي في فرع مذاهب العلماء فان أراد جمعها بتشهد واحد في آخرها كلها جاز وان أرادها بتشهدين وسلام واحد يجلس في الآخرة والتى قبلها جاز وحكي الفوراني وامام الحرمين وجها انه لا يجوز بتشهدين بل يشترط الاقتصار على تشهد واحد وحمل هذا القائل الاحاديث الواردة بتشهدين علي أنه كان يسلم في كل تشهد قال الامام وهذا الوجه ردئ لا تعويل عليه وحكي الرافعى وجها عكسه
[ 13 ]
أنه لا يجزئ الاقتصار على تشهد واحد وهذان الوجهان غلط والاحاديث الصحيحة مصرحة بابطالهما والصواب جواز ذلك كله كما قدمناه ولكن (1) الافضل تشهد ام تشهدان ام هما معافى الفضيلة: فيه ثلاثة أوجه واختار الرويانى تشهدا فقط اما إذا زاد على تشهدين وجلس في كل ركعتين واقتصر على السلام في الآخرة فوجهان حكاهما الرافعي وغيره أحدهما يجوز ويصح وتره كما لو صلي نافلة مطلقة بتشهدات وسلام واحد فانه يجوز على المذهب الصحيح كما سنذكره قريبا ان شاء الله تعالي والثاني وهو الصحيح لا يجوز ذلك لانه خلاف المنقول عن رسول الله صلي الله عليه وسلم وبهذا قطع امام الحرمين وغيره قال الامام والفرق بينه وبين النوافل المطلقة أن النوافل المطلقة لا حصر لركعاتها وتشهداتها بخلاف الوتر وإذا أراد الاتيان بثلاث ركعات ففى الافضل اوجه الصحيح ان الافضل أن يصليها مفصولة بسلامين لكثرة الاحاديث الصحيحة فيه ولكثرة العبادات فانه تتجدد النية ودعاء التوجه والدعاء في آخر الصلاة والسلام وغير ذلك والثاني ان وصلها بتسليمة واحدة أفضل قاله الشيخ أبو زيد المروزى للخروج من الخلاف فان ابا حنيفة رحمه الله لا يصحح المفصولة والثالث ان كان منفردا فالفصل أفضل وان كان اماما فالوصل حتى تصح صلاته لكل المقتدين والرابع عكسه حكاه الرافعي وهل الثلاث الموصولة أفضل أم ركعة فردة فيه اوجه حكاها امام الحرمين وغيره الصحيح ان الثلاث افضل وبه قال القفال والثانى الفردة افضل قال امام الحرمين وغلا هذا القائل فقال الركعة الفردة افضل من احدي عشرة موصولة والثالث ان كان منفردا فالفردة افضل وان كان اماما فالثلاث الموصولة أفضل ثم ان الخلاف في التفضيل بين الفصل والوصل انما هو في الوصل بثلاث اما الوصل بزيادة على ثلاث فالفصل افضل منه بلا خلاف ذكره امام الحرمين والله اعلم ثم أن أوتر بركعة نوى بها الوتر وان اوتر باكثر واقتصر علي تسليمة نوى الوتر ايضا وإذا فصل الركعتان بالسلام وسلم من كل ركعتين نوى بكل ركعتين ركعتين من الوتر هذا هو المختار وله ان ينوى غير هذا مما سبق بيانه في أول صفة الصلاة * (فرع) في وقت الوتر اما أوله ففيه ثلاثة أوجه الصحيح المشهور الذى قطع به المصنف والجمهور انه يدخل بفراغه من فريضة العشاء سواء صلي بينه وبين العشاء نافلة ام لا سواء اوتر بركعة ام باكثر فان أوتر قبل فعل العشاء لم يصح وتره سواء تعمده ام سها وظن أنه صلي العشاء ام ظن جوازه وكذا لو صلي العشاء ظانا أنه تطهر ثم احدث فتوضأ فأوتر فبان انه كان محدثا في العشاء فوتره باطل والوجه الثاني يدخل وقت الوتر بدخول وقت العشاء وله أن يصليه قبلها حكاه امام الحرمين
(1) كذا بالاصل ولعل اداة الاستفهام سقطت من الناسخ *
[ 14 ]
وآخرون وقطع به القاضى أبو الطيب قالوا سواء تعمد ام سها والثالث انه إن أوتر باكثر من ركعة دخل وقته بفعل العشاء وان أوتر بركعة فشرط صحتها أن يتقدمها نافلة بعد فريضة العشاء فأن أوتر بركعة قبل ان يتقدمها نفل لم يصح وتره وقال امام الحرمين ويكون تطوعا قال الرافعي ينبغي ان يكون في صحتها نفلا وبطلانها بالكلية الخلاف السابق فيمن احرم بالظهر قبل الزوال * وأما آخر وقت الوتر فالصحيح الذى قطع به المصنف والجمهور انه يمتد الي طلوع الفجر ويخرج وقته بطلوع الفجر وحكى المتولي قولا للشافعي انه يمتد الي ان يصلى فريضة الصبح وأما الوقت المستحب للاتيار فقطع المنصف والجمهور بان الافضل ان يكون الوتر آخر صلاة الليل فان كان لا يتهجد استحب أن يوتر بعد فريضة العشاء وسنتها في أول الليل وان كان له تهجد فالافضل تأخير الوتر ليفعله بعد التهجد ويقع وتره آخر صلاة الليل وقال امام الحرمين والغزالي تقديم الوتر في أول الليل أفضل وهذا خلاف ما قاله غيرهما من الاصحاب قال الرافعى يجوز أن يحمل نفلهما علي من لا يعتاد قيام الليل ويجوز ان يحمل علي اختلاف قول والامر فيه قريب وكل سائغ (قلت) والصواب التفصيل الذى سبق وانه يستحب لمن له تهجد تأخير الوتر ويستحب أيضا لمن لم يكن له تهجد ووثق باستيقاظه أواخر الليل اما بنفسه واما بايقاظ غيره ان يؤخر الوتر ليفعله آخر الليل لحديث عائشة رضى الله عنها قالت كان النبي صلي الله عليه وسلم يصلى من الليل فأذا بقي الوتر أيقظني فأوترت رواه مسلم وفى رواية له فإذا أوتر قال قومي فأوترى يا عائشة ودليل استحباب الايتار آخر الليل أحاديث كثيرة في الصحيح منها حديث عائشة رضي الله عنها قالت من كل الليل قد أوتر رسول الله صلي الله عليه وسلم من أوله وآخره وانتهى وتره الي السحر " رواه البخاري ومسلم وعن ابن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال " اجعلوا آخر صلاتكم بالليل وترا " رواه البخاري ومسلم وعنه ان النبي صلى الله عليه وسلم قال " بادروا الصبح بالوتر " رواه مسلم وعن جابر رضى الله عنه قال " قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من خاف الا يقوم من آخر الليل فليوتر أوله ومن طمع أن يقوم آخره فليوتر آخر الليل فان صلاة آخر الليل مشهودة وذلك أفضل " رواه مسلم بلفظه وهذا صريح فيما ذكرناه أولا من التفصيل ولا معدل عنه وأما حديث ابي الدرداء وابي هريرة رضى الله عنهما " أوصاني خليلي بثلاث لا ادعهن
[ 15 ]
حتى أموت صوم ثلاثة أيام من كل شهر وصلاة الضحي وألا انام الا علي وتر رواهما مسلم وروى البخاري حديث أبى هريرة فمحمولان علي من لا يثق بالقيام آخر الليل وهذا التأويل متعين ليجمع بينه وبين حديث جابر وغيره من الاحاديث السابقة من قوله صلي الله عليه وسلم وفعله والله أعلم * (فرع) إذا اوتر قبل أن ينام ثم قام وتهجد لم ينقض الوتر علي الصحيح المشهور وبه قطع الجمهور بل يتهجد بما تيسر له شفعا وفيه وجه حكاه امام الحرمين وغيره من الخراسانيين انه يصلى من أول قيامه ركعة يشفعه ثم يتهجد ما شاء ثم يوتر ثانيا ويسمى هذا نقض الوتر والمذهب الاول لحديث طلق بن علي رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول لا وتران في ليلة رواه أبو داود والترمذي والنسائي قال الترمذي حديث حسن * (فرع) إذا استحببنا الجماعة في التراويح استحبت الجماعة أيضا في الوتر بعدها باتفاق الاصحاب فان كان له تهجد لم يوتر معهم بل يؤخره إلى آخر الليل كما سبق فان أراد الصلاة معهم صلي نافلة مطلقة وأوتر آخر الليل وأما في غير رمضان فالمشهور أنه لا يستحب فيه الجماعة وحكى الرافعي عن حكاية أبى الفضل بن عبدان وجهين في استحبابها فيه مطلقا والمذهب الاول: والمذهب ان السنة أن يقنت في الركعة الآخرة من صلاة الوتر في النصف الاخير من شهر رمضان هذا هو المشهور في المذهب ونص عليه الشافعي رحمه الله وفى وجه يستحب في جميع شهر رمضان وهو مذهب مالك ووجه ثالث أنه يستحب في الوتر في جميع السنة وهو قول أربعة من كبار أصحابنا أي عبد الله الزبيري وأبى الوليد النيسابوري وإبي الفضل بن عبدان وأبي منصور بن مهران وهذا الوجه قوى في الدليل لحديث الحسن ابن على رضي الله عنهما السابق في القنوت ولكن المشهور في المذهب ما سبق وبه قال جمهور الاصحاب قال الرافعي وظاهر كلام الشافعي رحمه الله كراهة القنوت في غير النصف الآخر من رمضان قال ولو ترك القنوت في موضع استحبه سجد للسهو ولو قنت حيث لا يستحبه سجد للسهو وحكى الرويانى وجها أنه يقنت في جميع السنة بلا كراهة ولا يسجد للسهو لتركه من غير النصف الآخر من رمضان قال وهذا حسن وهو اختيار مشايخ طبرستان * (فرع) في موضع القنوت في الوتر أوجه الصحيح المشهور بعد الركوع ونص عليه الشافعي رحمه الله من حرملة وقطع به الاكثرون وصححه الباقون والثانى قبل الركوع قاله ابن سريج والثالث يتخير بينهما حكاه الرافعي وسيأتى دليل الجميع ان شاء الله تعالي فإذا قلنا يقدمه علي الركوع فالصحيح المشهور
[ 16 ]
أنه يقيت بلا تكبير وفيه وجه أنه يكبر بعد القراءة ثم يقنت ثم يركع مكبرا حكاه الرافعى رحمه الله * (فرع) قال اصحابنا لفظ القنوت هنا كهو في الصبح ولهذا لم يذكره المصنف قالوا ؟ ؟ ؟ باللهم اهدني فيمن هديت وبقنوت عمر رضى الله عنهما وقد سبق بيانهما في صفة الصلاة وهل الافضل تقديم قنوت عمر علي قوله اللهم اهدني أم تأخيره فيه وجها قال الروياني تقديمه أفضل قال وعليه العمل ونقل القاضى أبو الطيب في غير تعليقه عن شيوخهم تأخيره وهذا هو الذى نختاره لان قولهم اللهم اهدني ثابت عن النبي صلي الله عليه وسلم وهذا آكد واهم فقدم قال الرويانى قال ابن القاص يزيد في القنوت ربنا لا تؤاخذنا الي آخر السورة واستحسنه وهذا الذى قاله غريب ضعيف والمشهور كراهة القراءة في غير القيام * (فرع) حكم الجهر بالقنوت ورفع اليد ومسح الوجه كما سبق في قنوت الصبح * (فرع) قال اصحابنا يستحب لمن أوتر بثلاث أن يقرأ بعد الفاتحة في الاولى سبح اسم ربك وفى الثانية قل يا أيها الكافرون وفى الثالثة قل هو الله أحد والمعوذتين واستدلوا له بالحديث الذى ذكره المصنف وسنذكره ان شاء الله تعالى وغيره * (فرع) يستحب أن يقول بعد الوتر ثلاث مرات سبحان الملك القدوس وأن يقول اللهم انى اعوذ برضاك من سخطك وبمعافاتك من عقوبتك واعوذ بك منك لا أحصي ثناء عليك أنت كما أثنيت علي نفسك ففيهما حديثان صحيحان في سنن أبي داود وغيره * (فرع) إذا أوتر ثم اراد ان يصلي نافلة أم غيرها في الليل جاز بلا كراهة ولا يعيد الوتر كما سبق ودليله حديث عائشة رضى الله عنها وقد سئلت عن وتر رسول الله صلي الله عليه وسلم قالت كنا نعدله سواكه وطهوره فيبعثه الله ما شاء ان يبعثه من الليل فيتسوك ويتوضأ ويصلي تسع ركعات لا يجلس فيهن الا في الثامنة فيذكر الله ويمجده ويدعوه ثم ينهض ولا يسلم ثم يقوم فيصلي التاسعة ثم يقعد فيذكر الله ويمجده ويدعوه ثم يسلم تسليما يسمعنا ثم يصلي ركعتين بعد ما يسلم وهو قاعد رواه مسلم وهو بعض حديث طويل وهذا الحديث محمول على انه صلي الله عليه وسلم صلي الركعتين بعد الوتر بيانا لجواز الصلاة بعد الوتر ويدل عليه أن الروايات المشهورة في الصحيحين عن عائشة مع رواية خلائق من الصحابة رضي الله عنهم في الصحيحين مصرحة بان آخر صلاة النبي صلي الله عليه وسلم في الليل كانت وترا وفى الصحيحين
[ 17 ]
أحاديث كثيرة بالامر بكون آخر صلاة الليل وترا كقوله صلى الله تعالي عليه وسلم " اجعلوا آخر صلاتكم بالليل وترا وقد تقدم قريبا عن الصحيحين " كقوله صلي الله عليه وسلم " صلاة الليل مثنى مثنى فإذا خفت الصبح فاوتر بواحدة " روياه في الصحيحين من رواية ابن عمر رضى الله عنهما فكيف يظن بالنبي صلي الله عليه وسلم مع هذه الاحاديث وأشباهها انه كان يداوم علي ركعتين بعد الوتر وانما معناه ما ذكرناه أولا من بيان الجواز وانما بسطت الكلام في هذا الحديث لانى رأيت بعض الناس يعتقد أنه يستحب صلاة ركعتين بعد الوتر جالسا ويفعل ذلك ويدعو الناس إليه وهذه جهالة وغباوة انسه بالاحاديث الصحيحة وتنوع طرقها وكلام العلماء فيها فاحذر من الاغترار به واعتمد ما ذكرته أولا وبالله التوفيق * (فرع) في بيان الاحاديث المذكورة في الكتاب في فضل الوتر: الاول حديث ابى أيوب رضى الله عنه قال " قال رسول الله صلى الله عليه وسلم الوتر حق علي كل مسلم فمن أحب أن يوتر بخمس فليفعل ومن أحب أن يوتر بثلاث فليفعل ومن أحب أن يوتر بواحدة فليفعل " رواه أبو داود باسناد صحيح بهذا اللفظ ورواه هكذا أيضا الحاكم علي المستدرك وقال حديث صحيح على شرط البخاري ومسلم وأما الزيادة التي ذكرها المصنف فيه وهي قوله الوتر حق وليس بواجب فغريبة لا اعرف لها اسنادا صحيحا ويغنى عنها ما سأذكره من الادلة علي عدم وجوب الوتر في فرع مذاهب العلماء فيه ان شاء الله تعالى (الثاني) حديث عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله تعالي عليه وسلم كان يصلي من الليل إحدي عشرة يوتر منها بواحدة رواه البخاري ومسلم (الثالث) حديث عائشة رضي الله عنها أن النبي صلي الله عليه وسلم كان يقرأ في الوتر في الاولي سبح اسم ربك وفى الثانية (قل يا أيها الكافرون وفي والثالثة (قل هو الله احد) (والمعوذتين) ورواه أبو داود والترمذي وقال حديث حسن ورواه أبو داود والنسائي وابن ماجه من رواية أبى بن كعب راه الترمذي النسائي ابن ماجه من راية بن عباس لكن ليس في روايتهما ذكر المعوذتين وهو ثابت في حديث عائشة كما ذكرناه (الرابع) حديث ابن عمر رضي الله عنهما قال كان رسول الله صلي الله عليه وسلم يفصل بين الشفع والوتر بتسليمة يسمعناها رواه احمد بن حنبل في مسنده بهذا اللفظ (الخامس) قيل فان كان يعلم حديث عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يسلم في ركعتي الوتر رواه النسائي باسناد حسن ورواه البيهقى في السنن الكبيرة
[ 18 ]
باسناد صحيح وقال يشبه أن يكون هذا اختصارا من حديثها في الايتار بتسع يعني حديثها السابق في الفرع قبله (السادس) حديث قنوت عمر بن الخطاب رضى الله عنه رواه أبو داود في سننه من رواية الحسن البصري أن عمر بن الخطاب رضي الله عنه جمع الناس علي أبي بن كعب فكان يصلى لهم عشرين ليلة ولا يقنت بهم ألا في النصف الباقي فإذا كان العشر الاواخر تخلف فصلي في بيته فكانوا يقولون ابق ابى هذا لفظ أبي داود والبيهقي وهو منقطع لان الحسن لم يدرك عمر بل ولد لسنتين بقيتا من خلافة عمر بن الخطاب رضى الله عنه ورواه أبو داود أيضا عن ابن سيرين عن بعض أصحابه أن أبى بن كعب أمهم يعنى في رمضان وكان يقنت في النصف الآخر منه وهذا أيضا ضعيف لانه رواية مجهول (السابع) حديث أبي بن كعب رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم " كان يقنت في الوتر قبل الركوع " رواه أبو داود وضعفه وروى البيهقي القنوت في الوتر من رواية ابن مسعود وأبى بن كعب وابن عباس رضى الله عنهم عن النبي صلي الله عليه وسلم وضعفها كلها وبين سبب ضعفها (الثامن) حديث ان النبي صلى الله عليه وسلم قال إن الله زادكم صلاة وهى الوتر فصلوها من صلاة العشاء إلى طلوع الفجر هذا الحديث رواه أبو داود والترمذي من رواية خارجة بن حذافة رضي الله عنه قال خرج علينا رسول الله صلي الله عليه وسلم فقال إن الله قد امدكم بصلاة هي خير لكم من حمر النعم وهى الوتر فجعلها لكم فيما بين العشاء إلى طلوع الفجر هذا لفظ رواية أبي داود وفى رواية الترمذي فيما بين صلاة العشاء الي طلوع الفجر وفى إسناد هذا الحديث ضعف واشار البخاري وغيره من العلماء إلي تضعيفه قال البخاري فيه رجلان لا يعرفان إلا بهذا الحديث ولا يعرف سماع رواية بعضهم من بعض (التاسع) حديث جابر رضى الله عنه أن النبي صلي الله عليه وسلم قال من خاف الا يقوم من آخر الليل فليوتر أوله ومن طمع الحديث رواه مسلم وقد سبق بيانه * (فرع) في لغات الفاظ الفصل الوتر - بفتح الواو وكسرها - لغتان وأبو أيوب الانصاري إسمه خالد بن زيد شهد بدرا والعقبة والمشاهد كلها مع رسول الله صلي الله عليه وسلم نزل عليه رسول الله صلي الله عليه وسلم حين قدم المدينة شهرا حتي يثبت امساكنه توفى في الغزو بالقسطنطنينية رضى الله عنه وأما أبى بن كعب فهو أبو المنذر ويقال أبو الطفيل شهد العقبة الثانية وبدرا ومناقبه كثيرة ومن أجلها أن النبي صلي الله عليه وسلم قرأ عليه (لم يكن الذين كفروا) السورة وقال امرني الله تعالي ان اقرأها عليك وحديثه هذا مشهور في الصحيحين توفى بالمدينة سنة تسع عشرة
[ 19 ]
وقيل عشرين وقيل ثنتين وعشرين رضى الله عنه (قوله) الوتر حق أي مشروع مأمور به والتهجد هو الصلاة في الليل بعد النوم * (فرع) في مذاهب العلماء في حكم الوتر مذهبنا أنه ليس بواجب بل هو سنة متأكدة وبه قال جمهور العلماء من الصحابة والتابعين فمن بعدهم قال القاضي أبو الطيب هو قول العلماء كافة حتى أبو يوسف ومحمد قال وقال أبو حنيفة وحده هو واجب وليس بفرض فان تركه حتى طلع الفجر اثم ولزمه القضاء وقال الشيخ أبو حامد في تعليقه الوتر سنة مؤكدة ليس بفرض ولا واجب وبه قالت الامة كلها إلا أبا حنيفة فقال هو واجب وعنه رواية انه فرض وخالفه صاحباه فقالا هو سنة قال أبو حامد قال ابن المنذر لا اعلم احدا وافق ابا حنيفة في هذا * واحتج له بحديث أبى ايوب رضي الله عنه ان النبي صلى الله عليه وسلم قال " الوتر حق علي كل مسلم فمن احب ان يوتر بخمس " الخ وهو حديث صحيح كما سبق قريبا وعن علي بن ابى طالب رضي الله عنه ان النبي صلي الله عليه وسلم قال " ياهل القرآن أوتروا فان الله وتر يحب الوتر " رواه أبو داود والترمذي والنسائي وغيرهم قال الترمذي حديث حسن وعن بريدة رضي الله عنه ان النبي صلى الله عليه وسلم قال " الوتر حق فمن لم يوتر فليس منا الوتر حق فمن لم يوتر فليس منا الوتر حق فمن لم يوتر فليس منا " رواه أبو داود وعن عمرو بن شعيب عن ابيه عن جده عن النبي صلى الله عليه وسلم قال " إن الله زادكم صلاة فحافظوا عليها وهى الوتر " وعن ابن عمر رضي الله عنهما ان النبي صلي الله عليه وسلم " قال اجعلوا آخر صلاتكم بالليل وترا " رواه البخاري ومسلم وعن ابي سعيد الخدرى رضى الله عنه ان النبي صلي الله عليه وسلم قال " أوتروا قبل ان تصبحوا " وعن عائشة رضى الله عنها قالت " كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي من الليل فإذا اوتر قال قومي فأوترى يا عائشة " رواه مسلم وذكروا اقسية ومناسبات لا حاجة إليها مع هذه الاحاديث * واحتج اصحابنا والجمهور بحديث طلحة بن عبيدالله رضي الله عنه قال جاء رجل من أهل نجد فإذا هو يسأل عن الاسلام فقال رسول الله صلي الله عليه وسلم خمس صلوات في اليوم والليلة فقال هل علي غيرها فقال لا إلا أن تطوع وسأله عن الزكاة والصيام وقال في آخره والله لا أزيد علي هذا ولا أنقص فقال النبي صلي الله عليه وسلم أفلح إن صدق " رواه البخاري ومسلم من طرق واستنبط الشيخ أبو حامد وغيره منه أربعة أدلة (أحدها) أن النبي صلي الله عليه وسلم أخبره أن الواجب من الصلوات إنما هو الخمس (الثاني) قوله هل علي غيرها قال لا
[ 20 ]
(الثالث) قوله صلى الله عليه وسلم إلا أن تطوع وهذا تصريح بان الزيادة علي الخمس إنما تكون تطوعا (الرابع) أنه قال لا أزيد ولا انقص فقال النبي صلي الله عليه وسلم أفلح ان صدق وهذا تصريح بأنه لا يأثم بترك غير الخمس وعن ابن عباس رضى الله عنهما أن النبي صلي الله عليه وسلم بعث معاذا إلى اليمن فقال ادعهم الي شهادة أن لا إله إلا الله وأني رسول الله فان هم أطاعوا لذلك فاعلمهم أن الله قد افترض عليهم خمس صلوات في كل يوم وليلة فان هم أطاعوا لذلك فاعلمهم أن الله تعالي افترض عليهم صدقة في أموالهم تؤخذ من أغنيائهم وترد الي فقرائهم رواه البخاري ومسلم وهذا من أحسن الادلة لان بعث معاذ رضي الله عنه إلي اليمن كان قبل وفاة النبي صلى الله عليه وسلم بقليل جدا وعن عبد الله بن محيريز عن رجل من بني كنانة يقال له المخدجي قال كان بالشام رجل يقال له أبو محمد قال الوتر واجب فرحت إلي عبادة - يعنى بن الصامت - فقلت أن أبا محمد يزعم أن الوتر واجب قال كذب أبو محمد سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول خمس صلوات كتبهن الله على العباد من أتى بهن لم يضيع منهن شيئا جاء وله عند الله عهد أن يدخله الجنة ومن ضيعهن استخفافا بحقهن جاء ولا عهد له إن شاء عذبه وإن شاء أدخله الجنة هذا حديث صحيح رواه مالك في الموطأ وابو داود والنسائي وغيرهم وعن علي رضى الله عنه قال ليس الوتر بحتم كهيئة المكتوبة ولكنه سنها رسول الله صلى الله عليه وسلم رواه الترمذي والنسائي وآخرون قال الترمذي حديث حسن وعن عبادة بن الصامت رضي الله عنه قال الوتر امر حسن جميل عمل به النبي صلي الله عليه وسلم والمسلمون من بعده وليس بواجب رواه الحاكم وقال صحيح علي شرط البخاري ومسلم وعن ابن عمر رضي الله عنهما ان رسول الله صلى الله عليه وسلم " كان يصلى الوتر علي راحلته ولا يصلي عليها المكتوبة " رواه البخاري ومسلم واستدل به الشافعي والاصحاب على ان الوتر ليس بواجب (فان قيل) لا دلالة فيه لان مذهبكم ان الوتر واجب علي رسول الله صلى الله عليه وسلم وان كان سنة في حق الامة فالواجب أن يقال لو كان على العموم لم يصح علي الراحلة كالمكتوبة وكان من خصائص النبي صلى الله عليه وسلم جواز هذا الواجب الخاص عليه علي الراحلة فهذه الاحاديث هي التى يعتمدها في المسألة. واستدل اصحابنا باحاديث كثيرة مشهورة غير ما سبق لكن اكثرها ضعيفة لا استحل الاحتجاج بها فيما ذكرته من الاحاديث الصحيحة ابلغ كفاية ومن الضعيف الذى احتجوا به حديث أبي جناب - بجيم ونون - عن عكرمة عن ابن عباس عن النبي صلي الله عليه وسلم قال " ثلاث هن علي فرائض
[ 21 ]
وهن لكم تطوع النحر والوتر وركعتا الضحي " رواه البيهقى وقال أبو جناب الكلبي اسمه يحيي بن أبي حيينه ضعيف وهو مدلس وانما ذكرت هذا الحديث لابين ضعفه واحذر من الاغترار به قال اصحابنا ولانها صلاة لا تشرع لها الاذان ولا الاقامة فلم تكن واجبة علي الاعيان كالضحى وغيرها واحترزوا بقولهم علي الاعيان من الجنازة والنذر: واما الاحاديث التى احتجوا بها فمحمولة على الاستحباب والندب المتأكد ولابد من هذا التأويل للجمع بينها وبين الاحاديث التي استدللنا بها فهذا جواب يعمها ويجاب عن بعضها خصوصا بجواب آخر فحديث أبى أيوب لا يقولون به لان فيه فمن أحب أن يوتر بخمس فليفعل ومن أحب أن يوتر بثلاث فليفعل ومن أحب أن يوتر بواحدة فليفعل وهم يقولون لا يكون الوتر إلا ثلاث ركعات وحديث عمر بن شعيب في إسناد المثنى بن الصباح وهو ضعيف وحديث بريدة في روايته عبيدالله بن عبد الله العتكى أبو المنيب والظاهر انه منفرد به وقد ضعفه البخاري وغيره ووثقه ابن معين وغيره وادعي الحاكم انه حديث صحيح والله أعلم * (فرع) في مذاهبهم في فعل الوتر علي الراحلة في السفر مذهبنا: انه جائز على الراحلة في السفر كسائر النوافل سواء كان له عذر ام لا وبهذا قال جمهور العلماء من الصحابة فمن بعدهم فمنهم علي بن أبي طالب وأبن عمر وابن عباس وعطاء والثوري ومالك واحمد واسحق وداود وقال أبو حنيفة وصاحباه لا يجوز الا لعذر * دليلنا حديث ابن عمر ان النبي صلي الله عليه وسلم كان يوتر علي راحلته في السفر رواه البخاري ومسلم * (فرع) في مذاهبهم في وقت الوتر واستحباب تقديمه وتأخيره: قال ابن المنذر اجمع أهل العلم على ان ما بين صلاة العشاء إلي طلوع الفجر وقت للوتر ثم حكى عن جماعة من السلف أنهم قالوا يمتد وقته إلى أن يصلي الصبح وعن جماعة انهم قالوا يفوت لطلوع الفجر ومن استحب الاتيان اول الليل أبو بكر الصديق وعثمان بن عفان وابو الدرداء وأبو هريرة ورافع بن خديج وعبد الله بن عمرو بن العاص لما أسن رضي الله عنهم وممن استحب تأخيره إلي آخر الليل عمر بن الخطاب وعلى وابن مسعود ومالك والثوري وأصحاب الرأى رضى الله عنهم وهو الصحيح في مذهبنا كما سبق وذكرنا دليله * (فرع) في مذاهبهم في عدد ركعات الوتر: قد سبق ان مذهبنا ان أقله ركعة واكثره احدى عشرة
[ 22 ]
وفى وجه ثلاث عشرة وما بين ذلك جائز وكلما قرب من اكثره كان افضل وبهذا قال جمهور العلماء من الصحابة والتابعين فمن بعدهم * وقال أبو حنيفة لا يجوز الوتر الا ثلاث ركعات موصولة بتسليمة واحدة كهيئة المغرب قال لو أوتر بواحدة أو بثلاث بتسليمتين لم يصح ووافقه سفيان الثوري قال اصحابنا لم يقل أحد من العلماء ان الركعة الواحدة لا يصح الا ينار بها غيرهما ومن تابعهما واحتج لهم بحديث محمد بن كعب القرظبى ان النبي صلى الله عليه وسلم " نهي عن البتيراء " وعن عبد الله بن مسعود رضى الله عنه قال الوتر ثلاث كوتر النهار المغرب قال البيهقى هذا صحيح عن ابن مسعود من قوله وروى مرفوعا وهو ضعيف وعن ابن مسعود أيضا ما أجزأت ركعة قط وعن عائشة ان النبي صلي الله عليه وسلم " كان لا يسلم في ركعتي الوتر " رواه النسائي باسناد حسن * واحتج أصحابنا بحديث ابن عمر ان النبي صلي الله عليه وسلم قال " صلاة الليل مثنى مثنى فإذا خفت الصبح فاوتر بواحدة " رواه البخاري ومسلم وعن ابن عمر أيضا أن النبي صلي الله عليه وسلم قال " الوتر ركعة من آخر الليل " رواه مسلم وعن عائشة رضي الله عنها ان النبي صلى الله عليه وسلم قالت " كان يصلى من الليل إحدى عشرة ركعة يسلم كل ركعتين ويوتر منها بواحدة " رواه البخاري ومسلم وعن ابي أيوب ان النبي صلي الله عليه وسلم قال " الوتر حق فمن أحب أن يوتر بخمس فليفعل ومن أحب أن يوثر بثلاث فليفعل ومن أحب أن يوثر بواحدة فليفعل " حديث صحيح رواه أبو داود باسناده صحيح وصححه الحاكم وسبق بيانه وعن عائشة قالت " كان رسول الله صلي الله عليه وسلم يصلي من الليل ثلاث عشرة ركعة يوتر من ذلك بخمس لا يجلس في شئ إلا في آخرها " رواه مسلم وعن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال " لا توتروا بثلاث اوتروا بخمس أو بسبع ولا تشبهوا بصلاة المغرب " رواه الدار قطني وقال اسناده كلهم ثقات والاحاديث في المسألة كثيرة في الصحيح وفيما ذكرته كفاية قال البيهقى وقد روينا عن جماعة من الصحابة رضي
[ 23 ]
الله عنهم التطوع أو الوتر بركعة واحدة مفصولة عما قبلها ثم رواه من طرق باسانيدها عن عمر بن الخطاب وعثمان بن عفان وسعد بن أبى وقاص وتميم الدارمي وأبي موسى الاشعري وابن عمر وابن عباس وأبي أيوب ومعاوية وغيرهم رضي الله عنهم: والجواب عما احتجوا به من حديث الثيراء أنه ضعيف ومرسل وعن قول ابن مسعود الوتر ثلاث أنه محمول على الجواز ونحن نقول به وان اريد به انه لا يجوز إلا ثلاث فالاحاديث الصحيحة عن رسول الله صلي الله عليه وسلم مقدمة عليه: والجواب عن قوله ما أجزأته صلاة ركعة قط أنه ليس بثابت عنه ولو ثبت لحمل علي الفرائض فقد انه ذكره ردا علي ابن عباس في قوله ان الواجب من الصلاة الرباعية في حال الخوف ركعة واحدة فقال ابن مسعود ما أجزأته ركعة من المكتوبات قط والجواب عن حديث عائشة أنه محمول علي الايتار بتسع ركعات بتسليمة واحدة كما سبق بيانه في موضعه أو يحمل علي الجواز جمعا بين الادلة والله أعلم * (فرع) في مذاهبهم فيما يقرأ من أوتر بثلاث ركعات قد ذكرنا ان مذهبنا انه يقرأ بعد الفاتحة في الاولي سبح وفى الثانية قل يا أيها الكافرون وفى الثالثة قل هو الله أحد مرة والمعوذتين وحكاه القاضى عياض عن جمهور العلماء وبه قال مالك وأبو داود: وقال أبو حنيفة والثوري واسحاق كذلك الا أنهم قالوا لا تقرأ المعوذتين وحكي عن احمد مثله ونقله الترمذي عن أكثر العلماء من الصحابة ومن بعدهم دليلنا حديث عائشة رضى الله عنها الذى احتج به المصنف وقد بينا أنه حديث حسن في فرع بيان الاحاديث واعتمدوا أحاديث ليس فيها ذكر المعوذتين وتقدم عليها حديث عائشة باثبات المعوذتين فان الزيادة من الثقة مقبولة والله أعلم *
[ 24 ]
(فرع) في مذاهبهم فيمن أوتر بثلاث هل يفصل الركعتين عن الثلاثة بسلام: فذكرنا اختلاف اصحابنا في الافضل من ذلك وان الصحيح عندنا ان الفصل افضل وهو قول ابن عمر ومعاذ القارئ وعبد الله بن عياش ابن ابي ربيعة ومالك واحمد واسحق وابي ثور وقال الاوزاعي كلاهما حسن وقال أبو حنيفة لا تجوز الا موصولات وقد سبق بيان الادلة عليه * (فرع) في مذاهبهم في القنوت في الوتر: قد ذكرنا ان المشهور من مذهبنا انه يستحب القنوت فيه في النصف الاخير من شهر رمضان خاصة وحكاه ابن المنذر وابى بن كعب وابن عمر وابن سيرين والزبيرى ويحيي بن وثاب ومالك والشافعي واحمد وحكي عن ابن مسعود والحسن البصري والنخعي واسحق وابي ثور انهم قالوا يقنت فيه في كل السنة وهو مذهب ابى حنيفة وهو رواية عن احمد وقال به جماعة من اصحابنا كما سبق وعن طاوس انه قال القنوت في الوتر بدعة وهي رواية عن ابن عمر * (فرع) في مذاهبهم في محل الوتر: قد ذكرنا ان الصحيح في مذهبنا انه بعد رفع الرأس من الركوع وحكاه ابن المنذر عن ابى بكر الصديق وعمر وعثمان وعلي وسعيد بن جبير رضي الله عنهم قال به اقول وحكى القنوت قبل الركوع عن عمر وعلي رضى الله عنهما أيضا وعن ابن مسعود وأبي موسي الاشعري والبراء بن عازب وابن عمر وابن عباس وأنس وعمر بن عبد العزيز وعبيدة السلمانى وحميد الطويل وعبد الرحمن بن ابى ليلي واصحاب الرأى واسحق وحكى عن أيوب السختياني واحمد بن حنبل أنهما جائزان وقد سبقت أدلة المسألة في قنوت الصبح وسبق هناك مذاهبهم في استحباب رفع اليدين ومما احتج به للقنوت قبل الركوع ما روى عن أبى بن كعب أن النبي صلي الله عليه وسلم " كان يوتر بثلاث يسلم منها ويقنت قبل الركوع وهذا حديث ضعيف ضعفه بن المنذر وابن خزيمة وغيرهما من الائمة وحديث آخر عن ابن مسعود رفعه مثل حديث أبي وهو ضعيف ظاهر الضعف * (فرع) في مذاهبهم في نقض الوتر: قد ذكرت أن مذهبنا المشهور انه إذا اوتر في أول الليل ثم تهجد لا ينقض وتره بل يصلي ما شاء شفعا وحكاه القاضي عياض عن أكثر العلماء وحكاه ابن المنذر عن أبي بكر الصديق وسعد وعمار بن ياسر وابن عباس وعائذ بن عمرو وعائشة وطاوس وعلقمة والنخعي
[ 25 ]
وابي مجلز والاوزاعي ومالك واحمد وابى ثور رضى الله عنهم قالت طائفة ينقضه فيصلي في أول تهجده ركعة تشفعه ثم يتهجد ثم يوتر في آخر صلاته حكاه ابن المنذر عن عثمان بن عفان وعلي وسعد وابن مسعود وابن عمر وابن عباس وعمرو بن ميمون وابن سيرين واسحق رضي الله عنهم دليلنا السابق عن طلق بن علي رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول " لا وتران في ليلة " وقد سبق أن الترمذي قال هو حديث حسن ولان الوتر الاول مضي على صحته فلا يتوجه إبطاله بعد فراغه ودليل هذه المسائل المختلف فيها يفهم مما سبق في هذا الفصل فحذفتها ههنا اختصارا لطول الكلام وبالله التوفيق * قال المنصف رحمه الله * (وآكد هذه السنن الراتبة مع الفرائض سنة الفجر والوتر لانه ورد فيهما ما لم يرد في غيرهما وأيهما أفضل فيه قولان قال في الجديد الوتر افضل لقوله صلي الله عليه وسلم " إن الله امدكم بصلاة هي خير لكم من حمر النعم وهى الوتر " وقال صلى الله عليه وسلم " من لم يوتر فليس منا " ولانه مختلف في وجوبه وسنة الفجر مجمع علي كونها سنة فكأن الوتر آكد وقال في القديم ستة الفجر آكد لقوله صلي الله عليه وسلم " صلوها ولو طردتكم الخيل " ولانها محصورة لا تحتمل الزيادة والنقصان فهي بالفرائض أشبه من الوتر) *
[ 26 ]
(الشرح) الحديثان الاولان سبق بيانهما في مسائل الوتر وأما حديث سنة الفجر فرواه أبو داود في سننه من رواية أبى هريرة قال قال رسول الله صلي الله عليه وسلم " لا تدعوا ركعتي الفجر ولو طردتكم الخيل " وفى اسناده من اختلف في توثيقه ولم يضعفه أبو داود وعن عائشة رضى الله عنها قالت " لم يكن النبي صلي الله عليه وسلم علي شئ من النوافل أشد تعاهدا منه علي ركعتي الفجر " رواه البخاري ومسلم وعنها عن النبي صلي الله عليه وسلم قال " ركعتا الفجر خير من الدنيا وما فيها " رواه مسلم وعنها " ما رأيت النبي صلي الله عليه وسلم في شئ من النوافل أسرع منه الي الركعتين قبل الفجر " رواه مسلم * أما حكم المسألة قال اصحابنا أفضل النوافل التي لا تسن لها الجماعة السنن الراتبة مع الفرائض وأفضل الرواتب الوتر وسنة الفجر وأيهما أفضل فيه قولان الجديد الصحيح الوتر أفضل والقديم أن سنة الفجر أفضل وقد ذكر المصنف دليلهما وحكى صاحب البيان والرافعي وجها أنهما سواء في الفضيلة فإذا قلنا بالجديد فالذي قطع به المصنف والجمهور أن سنة الفجر تلي الوتر في الفضيلة للاحاديث التى ذكرتها وفيه وجه حكاه الرافعى عن أبى اسحق المروزى أن صلاة الليل أفضل من سنة الفجر وهذا الوجه قوى ففى صحيح مسلم عن أبي هريرة رضى الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال " أفضل الصلاة بعد الفريضة صلاة الليل " وفى رواية لمسلم ايضا " الصلاة في جوف الليل " ثم أفضل الصلوات بعد الرواتب والتراويح الضحى ثم ما يتعلق بفعل كركعتي الطواف إذا لم نوجبهما وركعتي الاحرام وتحية المسجد ثم سنة الوضوء وأما قول المصنف وسنة الفجر مجمع علي كونها سنة فكذا يقوله أصحابنا وقد نقل القاضى عياض عن الحسن البصري أنه أوجبها للاحاديث وحكاه بعض أصحابنا عن بعض الحنفية والله أعلم * (فرع) في مسائل تتعلق بالسنن الراتبة (إحداها) قد سبق أنه إذا صلي اربعا قبل الظهر أو بعدها أو قبل العصر يستحب أن يكون بتسليمتين وتجوز بتسليمة بتشهد وبتشهدين فإذا صلي اربعا بتسليمتين ينوى بكل ركعتين ركعتين من سنة الظهر وإذا صلاها بتسليمة وتشهدين فقد سبق في باب صفة الصلاة خلاف في انه هل يسن قراءة السورة في الاخيرتين كالخلاف في الفريضة (الثانية) يستحب تخفيف سنة الفجر وقد
[ 27 ]
سبق في باب صفة الصلاة في فصل قراءة السورة أنه يسن أن يقرأ فيهما بعد الفاتحة قولوا آمنا بالله وما أنزل الينا الآية وفى الثانية قل يا أهل الكتاب تعالوا الآية أو قل يا أيها الكافرون وقل هو الله احد وذكرنا هناك أحاديث صحيحة في هذا ومما يستدل به لا يستحب تخفيفها حديث عائشة رضي الله عنها قالت " كان النبي صلي الله عليه وسلم يخفف الركعتين اللتين قبل صلاة الصبح حتي انى لاقول هل قرأ بام الكتاب " رواه البخاري ومسلم وعنها قالت " كان رسول الله صلي الله عليه وسلم يصلي ركعتي الفجر إذا سمع الاذان ويخففهما " رواه البخاري ومسلم (الثالثة) السنة ان يضطجع علي شقه الايمن بعد صلاة سنة الفجر ويصليها في اول الوقت ولا يترك الاضطجاع ما امكنه فان تعذر عليه فصل بينهما وبين الفريضة بكلام
[ 28 ]
ودليل تقديمها حديث عائشة السابق في المسألة قبلها ودليل الاضطجاع أحاديث صحيحة منها حديث عائشة رضي الله عنها قالت " كان النبي صلي الله عليه وسلم إذا صلي ركعتي الفجر اضطجع على شقه الايمن " رواه البخاري وعنها قالت " كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي فذكرت صلاة الليل ثم قالت فإذا سكت المؤذن من صلاة الفجر وتبين له الفجر قام فركع ركعتين خفيفتين ثم اضطجع علي شقه الايمن حتى يأتيه المؤذن للاقامة " رواه مسلم وعن ابى هريرة رضى الله عنه قال قال رسول الله صلي الله عليه وسلم " إذا صلي أحدكم الركعتين قبل الصبح فليضطجع علي يمينه فقال له مروان بن الحكم اما يجزى احدنا ممشاه إلى المسجد حتى يضطجع على يمينه قال لا " حديث صحيح رواه أبو داود باسناد صحيح علي شرط البخاري ومسلم ورواه الترمذي مختصرا عن ابى هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم " إذا صلي أحدكم ركعتي الفجر فليضطجع على يمينه " قال الترمذي حديث حسن صحيح وعن عائشة رضى الله عنها قالت " كان النبي صلي الله عليه وسلم إذا صلى ركعتي الفجر فان كنت مستيقظة حدثنى والا اضطجع " رواه البخاري ومسلم وقولها حدثنى والا اضطجع يحتمل وجهين أحدهما أن يكون صلى الله عليه وسلم يضطجع يسيرا ويحدثها وإلا فيضطجع كثيرا والثانى أنه صلي الله عليه وسلم في بعض الاوقات القليلة كان
[ 29 ]يترك الاضطجاع بيانا لكونه ليس بواجب كما كان يترك كثيرا من المختارات في بعض الاوقات بيانا للجواز كالوضوء مرة مرة ونظائره ولا يلزم من هذا أن يكون الاضطجاع وتركه سواء ولابد من أحد هذين التأويلين للجمع بين هذه الرواية وروايات عائشة السابقة وحديث أبى هريرة المصرح بالامر بالاضطجاع والله أعلم وقد نقل القاضي عياض في شرح مسلم استحباب الاضطجاع بعد سنة الفجر عن الشافعي واصحابه ثم أنكره عليهم وقال قال مالك وجمهور العلماء وجماعة من الصحابة ليس هو سنة بل سموه بدعة واستدل بان أحاديث عائشة في بعضها الاضطجاع قبل ركعتي الفجر بعد صلاة الليل وفى بعضها بعد ركعتي الفجر وفى حديث ابن عباس قبل ركعتي الفجر فدل علي أنه لم يكن مقصوده وهذا الذى قاله مردود بحديث أبي هريرة الصريح في الامر بها وكونه صلي الله عليه وسلم اضطجع في بعض الاوقات أو أكثرها أو كلها بعد صلاة الليل لا يمنع أن يضطجع أيضا بعد ركعتي الفجر وقد صح اضطجاعه بعدهما وأمره به فتعين المصير إليه ويكون سنة وتركه يجوز جمعا بين الادلة وقال البيهقى في السنن الكبير أشار الشافعي إلي أن المراد بهذا الاضطجاع الفصل بين النافلة والفريضة فيحصل بالاضطجاع والتحدث أو التحول من ذلك المكان أو نحو ذلك ولا يتعين الاضطجاع هذا ما نقله البيهقي والمختار الاضطجاع لظاهر حديث ابي هريرة واما ما رواه البيهقي عن ابن عمر أنه قال هي بدعة فاسناده ضعيف ولانه نفى فوجب تقديم الاثبات عليه والله أعلم (الرابعة) يستحب عندنا وعند أكثر العلماء فعل السنن الراتبة في السفر لكنها في الحضر آكد وسنوضح المسألة بفروعها ودليلها ومذاهب العلماء فيها في باب صلاة المسافرين إن شاء الله تعالى ومما تقدم الاستدلال به حديث أبي قتادة رضي الله عنه الطويل المشتمل علي معجزات لرسول الله صلي الله عليه وسلم

SHOLAT SUNNAH yang tidak disunnahkan berjamaah

tapi sah bila kerjakan dengan berjamaah, yaitu SHOLAT SUNNAH ROWATIB dan selain sholat id (2 hari raya), sholat Kusufaini (2 gerhana) dan istisqo' (minta hujan).
[ALMAJMU' SYARH MUHADZ-DZAB JUZ 4 HALAMAN 7-10 ]
واما ما لا يسن له الجماعة ضربان راتبة بوقت وغير راتبه فاما الراتبة فمنها السنن الراتبة مع الفرائض وأدنى الكمال فيها عشر ركعات غير الوتر وهى ركعتان قبل الظهر وركعتان بعدها وركعتان بعد المغرب وركعتان بعد العشاء وركعتان قبل الصبح والاصل فيه ما روى ابن عمر رضي الله عنهما قال " صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم قبل الظهر سجدتين وبعدها سجدتين وبعد المغرب سجدتين وبعد العشاء سجدتين " وحدثتني حفصة بنت عمر رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم " كان يصلى سجدتين خفيفتين إذا طلع الفجر " والاكمل أن يصلي ثمانى عشرة ركعة غير الوتر ركعتين قبل الفجر وركعتين بعد المغرب وركعتين بعد العشاء لما ذكرناه من حديث ابن عمر وأربعا قبل الظهر وأربعا بعدها لما روت ام حبيبة رضى الله عنها ان النبي صلي الله عليه وسلم " قال من حافظ علي أربع ركعات قبل الظهر وأربع بعدها حرم علي النار " وأربعا قبل العصر لما روى علي رضي الله عنه أن النبي صلي الله عليه وسلم " كان يصلي قبل العصر أربعا يفصل بين كل ركعتين بالتسليم على الملائكة ومن معهم من المؤمنين " والسنة فيها وفى الاربع قبل الظهر وبعدها أن يلم من كل ركعتين لما رويناه من حديث علي رضى الله عنه) * (الشرح) حديث ابن عمر رضى الله عنهما رواه البخاري ومسلم من طرق والسجدتان ركعتان وحديث ام حبيبة رضى الله عنها صحيح رواه أبو داود والترمذي وقال حديث حسن وحديث علي رضى الله عنه رواه الترمذي وقال حديث حسن وقد سبق بيانه في فصل السلام من صفة الصلاة واسم ام حبيبة رملة بنت أبى سفيان بن صخر بن حرب وقيل اسمها هند كنيت بابنتها حبيبة بنت عبد الله ابن جحش وكانت من السابقين إلي الاسلام تزوجها النبي صلي الله عليه وسلم سنة ست وقيل سبع رضي
[ 8 ]
الله عنها: وفى الفصل أحاديث صحيحة أيضا (منها) حديث عائشة رضى الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم " كان لا يدع أربعا قبل الظهر ثم يخرج ويصلي بالناس ثم يدخل فيصلي ركعتين " رواه مسلم وعنها " كان النبي صلي الله عليه وسلم " إذا لم يصل أربعا قبل الظهر صلاهن بعدها " رواه الترمذي وقال حديث حسن وعن علي رضي الله عنه أن النبي صلي الله عليه وسلم " كان يصلي قبل العصر ركعتين " رواه أبو داود باسناد صحيح وعن ابن عمر رضى الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: رحم الله امرءا صلي قبل العصر أربعا " رواه أبو داود والترمذي وقال حديث حسن وفى الباب أحاديث كثيرة غير ما ذكرته: اما حكم المسألة فالاكمل في الرواتب مع الفرائض غير الوتر ثمان عشرة ركعة كما ذكر المصنف وأدنى الكمال عشر كما ذكره منهم من قال ثمان فاسقط سنة العشاء قاله الخضري ونص عليه وقيل اثنتى عشرة فزاد قبل الظهر ركعتين أخرتين وقيل بزيادة ركعتين قبل العصر وكل هذا سنة وانما الخلاف في المؤكد منه * (فرع) في استحباب ركعتين قبل المغرب وجهان مشهوران في طريقة الخراسانيين (الصحيح) منهما الاستحباب لحديث عبد الله بن مغفل رضي الله عنه أن النبي صلي الله عليه وسلم قال " صلوا قبل صلاة المغرب قال في الثالثة لمن شاء " رواه البخاري في مواضع من صحيحه وعن أنس رضي الله عنه " قال رأيت كبار أصحاب رسول الله صلي الله عليه وسلم يبتدرن السواري عند المغرب " رواه البخاري وعنه قال كنا نصلي علي عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم ركعتين بعد غروب الشمس قبل المغرب فقلت أكان النبي صلى الله عليه وسلم صلاها قال كان يرانا نصليها فلم يأمرنا ولم ينهنا رواه مسلم وعنه قال كنا بالمدينة وإذا أذن المؤذن بصلاة المغرب ابتدروا
[ 9 ]
السوارى فركعوا ركعتين حتي أن الرجل الغريب ليدخل المسجد فيحسب أن الصلاة قد صليت من كثرة من يصليها " رواه مسلم وعن عقبة بن عامر رضي الله عنه " أنهم كانوا يصلون ركعتين قبل المغرب علي عهد رسول الله صلي الله عليه وسلم " رواه البخاري فهذه الاحاديث صحيحة صريحة في استحبابها وممن قال به من اصحابنا أبو إسحاق الطوسى وابو زكريا السكرى حكاه عنهما الرافعي وهذا الاستحباب إنما هو بعد دخول وقت المغرب وقبل شروع المؤذن في إقامة الصلاة وأما إذا شرع المؤذن في الاقامة فيكره أن يشرع في شئ من الصلوات غير المكتوبة للحديث الصحيح " إذا أقيمت الصلاة فلا صلاة إلا المكتوبة " رواه مسلم وأما الحديث الذى رواه أبو داود عن ابن عمر قال " ما رأيت أحدا يصلى الركعتين قبل المغرب على عهد رسول الله صلي الله عليه وسلم " فاسناده حسن وأجاب البيهقى وآخرون عنه بأنه نفى ما لم يعلمه واثبته غيره ممن علمه فوجب تقديم رواية الذين اثبتوا لكثرتهم ولما معهم من علم ما لا يعلمه ابن عمر * (فرع) يستحب أن يصلي قبل العشاء الاخرة ركعتين فصاعدا لحديث عبد الله بن مغفل رضى الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال " بين كل أذانين صلاة بين كل أذانين صلاة بين كل أذانين صلاة قال في الثالثة لمن يشاء " رواه البخاري ومسلم والمراد بالاذانين الاذان والاقامة باتفاق العلماء * (فرع) في سنة الجمعة بعدها وقبلها: تسن قبلها وبعدها صلاة وأقلها ركعتان قبلها وركعتان بعدها والاكمل اربع قبلها واربع بعدها هذا مختصر الكلام فيها: وأما تفصيله فقال أبو العباس ابن القاص في المفتاح في باب صلاة الجمعة سنتها أن يصلي قبلها أربعا وبعدها أربعا وقال صاحب التهذيب في باب (1) صلاة التطوع بعد صلاة الجمعة كهى بعد صلاة الظهر وقال صاحب البيان في باب صلاة الجمعة قال الشيخ أبو نصر لا نص للشافعي فيما يصلي بعد الجمعة والذى يجزئه علي المذهب أنه يصلى بعدها ما يصلى بعد الظهر إن شاء ركعتين وإن شاء أربعا قال صاحب البيان وكذا يصلى قبلها ما يصلي قبل الظهر (قلت) وهذا الذى ادعاه أبو نصر وأقره صاحب البيان عليه من أن الشافعي لا نص له في الصلاة بعد الجمعة غلط بل نص الشافعي رحمه الله علي أنه يصلى بعدها أربع ركعات ذكر هذا النص في الام في باب صلاة الجمعة والعيدين من كتاب اختلاف على بن أبي طالب وعبد الله بن مسعود رضى الله عنهما وهو من أواخر كتب الام قبل كتاب سير الواقدي كذلك رأيته فيه ونقل أبو عيسى الترمذي في كتابه عن الشافعي رحمه الله أنه يصلى بعد الجمعة ركعتان فهذا ما حضرني
(1) كذا بالاصل فحرر اه‍ *
[ 10 ]الآن من نص الشافعي وكلام الاصحاب رحمهم الله: وأما دليله من الاحاديث فروي ابن عمر رضى الله عنهما أن النبي صلي الله عليه وسلم " كان يصلي بعد الجمعة ركعتين في بيته " وفي رواية " كان لا يصلى بعد الجمعة حتي ينصرف فيصلى ركعتين في بيته " رواه البخاري ومسلم وعن أبي هريرة رضي الله عنه قال " قال رسول الله صلي الله عليه وسلم إذا صلي أحدكم الجمعة فليصل بعدها أربعا وعنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال " من كان منكم مصليا بعد الجمعة فليصل بعدها أربعا " وفى رواية إذا صليتم بعد الجمعة فصلوا بعدها أربعة " رواه مسلم بهذه الروايات الثلاث وفى رواية لابي داود " إذا صليتم الجمعة فصلوا بعدها أربعا ": وأما السنة قبلها فالعمدة فيها حديث عبد الله بن مغفل المذكور في الفرع قبله " بين كل أذانين صلاة " والقياس علي الظهر وأما حديث ابن عباس في سنن ابن ماجه أن النبي صلي الله عليه وسلم " كان يصلي قبل الجمعة أربعا لا يفصل في شئ منهن " فلا يصح الاحتجاج به لانه ضعيف جدا ليس بشئ وذكر أبو عيسى الترمذي أن عبد الله بن مسعود كان يصلي قبل الجمعة أربعا وبعدها اربعا واليه ذهب سفيان الثوري وابن المبارك * (فرع) السنة لمن صلى أربعا قبل الظهر أو بعدها أن يسلم من كل ركعتين لحديث علي رضى الله عنه الذى ذكره المصنف وحديث " صلاة الليل والنهار مثنى مثني " وسيأتي أدلة المسألة ومذهب ابي حنيفة رحمه الله وغيره إن شاء الله تعالي حيث ذكره المصنف في آخر هذا الباب وبالله التوفيق واما الحديث المروى عن ابى ايوب رضى الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال " اربع قبل الظهر ليس فيها تسليم يفتح لهن ابواب السماء " فضعيف رواه أبو داود وضعفه * * قال المصنف رحمه الله * (وما يفعل قبل الفرائض من هذه السنن يدخل وقتها بدخول وقت الفرض ويبقي وقتها الي ان يذهب وقت الفرض وما كان بعد الفرض يدخل وقتها بالفراغ من الفرض ويبقى وقتها إلي ان يذهب وقت الفرض ومن اصحابنا من قال يبقي وقت سنة الفجر إلي الزوال وهو ظاهر والنص الاول اظهر) *