1. MAKRUHNYA SHOLAT DI MASJID YANG DI DEPANNYA ADA KUBURANNYA.
2. BOLEH MENGGUNAKAN AIR MUSTA'MAL? DENGAN NIAT IGHTIROF ATAU MENGAMBIL/NGECLUPKAN TANGAN misalnya.
3. DLL
عن عثمان بن عفان أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال خيركم من تعلم القرآن وعلمه @@@@@@=> "Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur'an dan mengajarkannya". Ma'had ibnu Mas'ud (MIM) kota Tulungagung; tempat untuk mempelajari, mengkaji serta menghafal ayat-ayat Alloh Ta'ala. Sebuah usaha konkrit untuk tetap berpegangteguh dan menjaga kalimah Alloh Ta'ala.
HAIDH (MENSTRUASI)
Hamidanlillaah wamusholliyan ‘alaa Rosulillah SHOLALLOHU ‘ALAIHI WASALLAM
wa’alaa aalihii washohbihii wa atbaa’ihii ajma’iin.
BAB 1. HAIDH
Haidh adalah sebuah kebiasaan bagi tiap2 wanita dalam tiap bulannya.Bagi setiap muslimah wajib mengerti tentang masalah haidh ini.Mulai dari pertama kali menstruasi,seorang wanita muslimah sudah dikatakan balighoh dan mulai saat itulah dia disebut mukallaf,artinya dia harus siap menjaga tugas-tugasnya sebagai seorang muslimah,beribadah kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan perintah Allah Ta’ala dan menjauhi segala larangan2Nya. Dia sudah harus memikul tugas dan kewajiban2 agamanya hingga dia kembali pulang ke rahmatullah dan bertanggung jawab dengan segala amal perbuatannya.
Minimal usia wanita haidh itu apabila ia sudah umur 9 tahun Qomariyyah dan bukan memakai kalender syamsiyyah atau nasional/umum. Hitungan mudahnya 9 tahun qomariyyah itu adalah 3189 hari lebih 1 jam 12 menit, ini dihitung mulai ia lahir dari ibunya. Jadi kalau ada seorang wanita mengeluarkan darah dari rahimnya dan dia belum berumur 9 tahun maka itu bukan darah haidh tetapi darah fasad atau penyakit.Dan itu tidak jadi ukuran untuk menetapkan bahwa dia sudah balighoh.
DASAR HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN MASALAH HAIDH.
Dalam Alqur’an al kariem Allah Ta’ala berfirman :”Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haidh.Katakanlah:”Haidh itu adalah kotoran”.Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkn diri (tidak boleh menjima’) dari wanita diwaktu haidh dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci (sebelum mandi jinabah).Apalabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu.Sesungguhnya Allah menyukai orang2 yang bertaubat dan menyukai orang2 ang mensucikan diri”.(Q.S.Al baqoroh 222).
Sebab turunnya ayat tersebut adalah bahwa orang2 yahudi kalau isterinya sedang haidh maka tidak boleh ada didalam rumah,harus keluar dari rumah,tidak boleh makan bersama suaminya dan lain2.Akhirnya para sahabat bertanya kepada Rosulullah SHOLALLOHU ‘ALAIHI WASALLAM,maka kemudian turunlah ayat tersebut.Lalu Rosulullah SHOLALLOHU ‘ALAIHI WASALLAM bersabda :”Ishna’uu kulla syai’in illaa annikaah…Artinya kalian boleh melakukan apa saja terhadap istri yang sedang haidh kecuali jima’/bersetubuh.Dalam hadits AlBukhori & Muslim nabi SHOLALLOHU ‘ALAIHI WASALLAM bersabda:”Haadzaa syai’un katabahullohu ‘alaa banaati aadam”..Artinya haidh adalah salah satu ketentuan dari Allah untuk setiap wanita.
Sebelum kita masuk inti pembahasan haidh dan contoh2nya,berikut ini kita ketahui dulu apa2 saja yang diharamkan agama bagi setiap wanita yang sedang haidh. Yaitu pertama, Sholat.Baik sholat fardhu ataupun sunah.
Disamping haram,sholatnyapun tidak sah.Wanita haidh tidak wajib mengqodho sholatnya.Dalil haramnya sholat bagi wanita haidh adalah Alquran,
Kedua, Puasa.Baik puasa fardhu seperti romadhon,nadzar dan qodho romadhon juga puasa sunah seperti senin,kamis,tanggal 13,14,15 dll.Disamping haram haram puasanya juga tidak sah.Cuman saja wanita haidh ini wajib mengqodlo puasa.Karena ada hadits dari ‘Aisyah bahwa kami diperintahkan oleh rosulullah SHOLALLOHU ‘ALAIHI WASALLAM untuk mengqodho puasa tapi tidak diperintah mengqodho sholat.Dalilnya adalah hadits Rosulullah SHOLALLOHU ‘ALAIHI WASALLAM riwayat Al-Bukhori no 315 dan 298 juga dalam riwayat muslim hadits no 335 dan 80.
Ketiga, Membaca Al qur’an.baik satu ayat atau lebih bahkan satu kalimatpun kalau diniatkan membaca alqur’an maka hukumnya haram. Dalilnya adalah sebuah hadits Rosulullah SHOLALLOHU ‘ALAIHI WASALLAM bersabda:”Laa taqro’i al junubu walal haaidhu syai’an minal qur’an”.Arinya Orang junub dan haidh tidak boleh membaca alqur’an. Kalau tidak bertujuan membaca alqura’an seperti membaca bismillahirrohmaanirrohim ketika mau makan,minum dll, atau mengucapkan innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun ketika terkena musibah maka hukumnya tidak haram.
Keempat, Memegang mushaf (al qur’an).Dalilnya adalah alqur’an :”Laa yamassuhuu illal muthohharuun”.(Al waaqi’ah 79).Artinya tidak menyentuhnya kecuali hamba2 yang disucikan.juga didukung sebuah hadits rosulullah saw :”Laa yamassul qur’an illaa thoohir”.Artinya tidak boleh memegang alquran kecuali dalam keadaan suci.
Diam didalam masjid.Dalilnya adalah hadits Rosulullah saw:”Laa uhillu almasjida li haa’idhin walaa junubin”.(HR Abu Dawud 232).Artinya Aku tidak halalkan masjid untuk orang haidh dan junub.Kalau hanya lewat dan yakin kalau darahnya tidak menetes dan jatuh dimasjid maka hukumnya boleh.
Kelima, Thowaf, baik thowaf rukun seperti thowaf ifadhoh atau thowaf wajib seperti thowaf wada’ (perpisahan/pamitan),ataupun thowaf sunah seperti thowaf qudum (pertama/selamat datang).karena thowaf hukumnya sama seperti sholat,artinya harus suci dari hadas.Dalilnya adalah hadits Rosulullah saw:”Aththowaafu bil baiti sholaatun,illaa annallooha ahalla lakum fiihi alkalaamu,faman takallama falaa yatakallam illaa bi khoirin”.Artinya Thowah di baitulloh adalah sholat,hanya saja Allah memperbolehkan bicara dalam thowaf,barang siapa berbicara saat thowaf,maka bicaralah yang baik.(HR Al Hakim 1/459 dengan isnad yang shohih).
Keenam, Jima’.yaitu bersetubuh dalam keadaan haidh.Dalilnya adalah Alquran :”Walaa taqrobuuhunna hattaa yathhurna…”.Artinya janganlah mendekati mereka (para istri) kecuali setelah mereka suci.(QS Al Baqoroh 222).Maksud dari kalimat jangan mendekati adalah jangan menjima’.
MASA HAIDH
Masa haidh itu ada yang disebut Al Aqoll atau masa minimal,ada yang disebut Al ghoolib atau masa yang umum dan ada yang disebut Al Aktsar atau waktu maksimal.
Waktu minimal keluarnya darah haidh adalah sehari semalam atau dalam hitungan 24 jam,hal itu kalau darah terus merembes keluar,artinya jika diambil kapas dan ditempelkan kerahim maka darahnya nyata ada atau kelihatan.Jadi misalnya ada seorang wanita haidh mengeluarkan darah pada hari pertama 10 jam,hari kedua 8 jam,hari ketiga 6 jam.terus darah berhenti,jadi genap 24 jam.maka wanita ini berarti haidh pada masa Al aqoll.Wanita ini tidak wajib mengqodho sholatnya.Kalau dihitung sampai saat darah berhenti tadi kurang dari 24 jam,maka itu berarti bukan darah haidh tapi disebut darah penyakit,fasad atau istihadhoh.wanita yang seperti ini wajib mengqodho sholatnya.
Adapun masa umumnya haidh adalah 6 atau 7 hari,walaupun darah yang keluar tidak terus menerus merembes keluar.Tapi darah yang tidak terus menerus keluarnya kemudian dihukumi darah haidh itu syaratnya masa keluarnya darah dalam 6 atau 7 hari itu kalau dihitung ada 24 jam atau lebih.kalau kurang dari 24 jam maka bukan darah haidh tapi darah fasad atau istihadhoh.
Contoh..umpamanya Aiysah mengeluarkan darah selama 7 hari, setiap sehari semalam hanya 3 jam, jadi kalau dihitung 3 jam x 7 hari =21 jam.berarti kurang dari 24 jam.maka darah selama 7 hari itu bukan darah haidh tapi darah penyakit atau istihadhoh.Karena bukan darah haidh maka Aiysah harus mengqodho sholat yang ditinggalkannya selama 7 hari itu.
Apabila Aiysah dalam 7 hari itu, setelah mengumpulkan dan menghitung masa masa keluarnya darah dan ternyata ada 24 jam atau lebih.maka masa 7 hari itu adalah haidh dan waktu2 yang sempat tidak mengeluarkan darah itu tetap dihukumi masa haidh.Jadi Aiysah tidak wajib mengqodho sholatnya selama 7 hari itu.
Sedangkan maksimal masa haidh adalah 15 hari walaupun darah yang keluar tidak terus menerus merembes.Tapi darah yang tidak terus menerus keluar dalam masa 15 hari ini dihukumi haidh syaratnya pada masa keluarnya darah apabila dikumpulkan dan dihitung ada 24 jam atau lebih.kalau tidak ada 24 jam maka bukan darah haidh tapi darah penyakit atau istihadhoh.
Contoh: Didalam masa 15 hari si ita mengeluarkan darah setiap harinya mengeluarkan darah hanya 1 jam, jadi dalam 15 hari hanya 15 jam. maka semua itu bukan darah haidh tapi darah penyakit atau istihadhoh.jadi si ita harus mengqodlo sholat yang ditinggalkannya selama 15 hari itu.
Apabila si ita dalam 15 hari itu setelah mengumpulkan dan menghitung masa keluarnya darah dan ternyata ada 24 jam atau bahkan lebih maka 15 hari itu dihukumi haidh dan masa masa kosong/tidak mengeluarkan darah di dalam 15 hari itu tetap dihukumi masa haidh.Jadi ita tidak wajib mengqodho sholat selama 15 hari itu.
Apabila darah masih keluar setelah 15 hari dan seterusnya,maka darah tersebut bukan darah haidh,tapi darah istihadhoh, jadi tanggal 16 ita harus mandi besar dan wajib sholat,puasa dan lain-lain, walaupun darah masih keluar. Sebab orang istihadhoh itu hukumnya adalah orang yang suci.
SUCI DARI HAIDH
Secara umum semua wanita tiap bulan pasti mengalami haidh dan suci. Minimal masa suci di antara dua haidh yaitu 15 hari.Karena maksimal masa haidh itu 15 hari,maka otomatis minimal masa suci antara dua haidh yaitu 15 hari. Kalau masa suci antara haidh dan nifas bisa saja kurang dari 15 hari. Suci antaranya haidh dan nifas ada yang haidh dulu lalu suci,kemudian nifas. Dan ada yang nifas dulu lalu suci,kemudian haidh.Tapi keluarnya darah harus setelahnya nifas berjalan hingga 60 hari yaitu masa maksimal nifas.Karena kalau banyaknya nifas itu belum sampai 60 hari, kemudian wanita itu mengeluarkan darah,maka darah itu bukan darah haidh. Kecuali kalau antara berhentinya darah nifas dan keluarnya darah kembali (selanjut)nya itu ada masa 15 hari lebih.
Umumnya suci yaitu sisanya masa 1 bulan setelah haidhnya menetapi keumuman.Jadi kalau seorang wanita haidh 6 hari,berarti sucinya 24 hari. kalau haidhnya 7 hari,berarti sucinya 23 hari.
Maksimal masa suci itu tidak terbatas.Terkadang ada seorang wanita yang haidhnya hanya 1 kali kemudian tak pernah haidh lagi,dan kadang ada yang tidak haidh sama sekali seumur hidupnya,sehingga suci terus, seperti sayyidah maryam binti imron ibunda nabi Isa dan sayyidah Fathimah azzahro putri baginda Rosulullah SHOLALLOHU ‘ALAIHI WASALLAM.
Referensi :
Masaail Annisaa’ karya Asy-Syekh Mishbah Zainal-Musthofa.
Al Fiqhul-Manhajy ‘alaa Madzhabi al imaami Asy-Syaafi’i karya Dr Musthofa Al khin, Dr Musthofa Al Bughoo dan Asysyekh ‘Aly Asy-Syuraihy.
Hukum Sate Kuda
Hukum sate kuda tergantung pada hukum daging kuda. Sedang daging kuda (lahm al-khayl) hukumnya halal. Di antara para ulama yang menghalalkan daging kuda adalah Zaid bin Tsabit RA, Imam Asy-Syafi’i, dua sahabat Imam Abu Hanifah (yaitu Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hasan), Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ishaq, serta jumhur ulama salaf dan khalaf (Lihat Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, IV/74).
Dalil halalnya daging kuda adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Jabir RA bahwa Rasulullah SAW pada Perang Khaybar (yauma khaybar) telah melarang daging-daging keledai jinak dan mengizinkan daging kuda (Lihat Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, IV/73; Syaikh Asy-Syarbaini Al-Khathib, Al-Iqna’, II/274). Dalil lainnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Asma` binti Abu Bakar Ash-Shiddiq, dia berkata,"Kami telah menyembelih seekor kuda pada masa Rasulullah SAW, lalu kami memakannya." (Muttafaq ‘alayh). Dalam satu riwayat, ada tambahan, "...sedang kami di Madinah." (Subulus Salam, IV/78). Kedua dalil ini dengan jelas telah menghalalkan makan daging kuda.
Tetapi, sebagian ulama mengharamkan makan daging kuda. Mereka adalah Imam Malik, Imam Abu Hanifah, ulama Al-Hadawiyah, dan pendapat yang masyhur di kalangan para ulama Hanafiyah (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, IV/73; Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, I/379). Dalilnya adalah hadits dari Khalid bin Al-Walid RA, bahwa Rasulullah SAW telah melarang makan daging kuda, baghal, keledai dan setiap binatang buas yang bertaring (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah. Lihat Imam As-Suyuthi, Al-Jami’ Ash-Shaghir, hal. 191; Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, IV/74).
Pendapat yang mengharamkan daging kuda ini lemah. Sebab banyak ulama yang tidak menerima hadits Khalid tersebut dan menganggapnya sebagai hadits dhaif (lemah), sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Imam Al-Bayhaqi mengatakan," Isnad [hadits] ini mudhtarib (1), menyalahi riwayat orang-orang yang tsiqat (2)," Imam Al-Bukhari berkata tentang dua perawi di antara para perawi hadits tersebut, yaitu Abu Shalih Tsaur bin Yazid dan Sulaiman bin Salim,"Perlu dipertimbangkan (fiihi nazhar)." Imam Ahmad, Ad-Daruquthni, Al-Khaththabi, Ibnu Abdil Barr, dan Abdul Haq mendhaifkan hadits ini (Subulus Salam, IV/74). Imam Ahmad dan lainnya mengatakan," [Hadits ini] munkar (3)." Sedang Abu Dawud mengatakan," [Hadits ini] mansukh (dihapus hukumnya)." (Syaikh Asy-Syarbaini Al-Khathib, Al-Iqna’, II/274).
Dengan demikian, karena hadits Khalid bin Al-Walid ini dhaif (lemah), maka hadits tersebut tidak dapat dijadikan dalil haramnya daging kuda. Namun andaikata saja hadits tersebut sahih atau hasan, sehingga dapat dijadikan dalil, maka harus dilakukan tarjih antara hadits Khalid bin Al-Walid ini yang melarang daging kuda dengan hadits-hadits Jabir dan Asma` yang menghalalkan daging kuda. Dalam hal ini, Imam As-Suyuthi menilai bahwa hadits Khalid bin Al-Walid adalah hadits hasan, sehingga layak dijadikan hujjah (dalil) (Lihat Imam As-Suyuthi, Al-Jami’ Ash-Shaghir, hal. 191).
Di antara kaidah tarjih dalam ilmu ushul fiqih; jika satu hadits melarang (naahi) sedang hadits lainnya membolehkan (mubiih), maka yang lebih rajih (kuat) adalah hadits yang membolehkan. Mengapa demikian? Sebab mengamalkan dalil yang melarang, akan menghilangkan pengamalan dalil lainnya (yang membolehkan) secara keseluruhan. Jadi di sini hanya diamalkan satu dalil saja (dalil yang melarang). Sedang mengamalkan dalil yang membolehkan, akan dapat sekaligus mengamalkan dua dalil, yaitu dalil yang membolehkan dan juga dalil yang melarang. Sebab, tujuan dari mengamalkan dalil yang membolehkan, adalah menta`wil adanya larangan dengan mengalihkan maknanya menuju pembolehan (ibahah). Padahal pembolehan itu sudah jelas ditunjukkan oleh dalil yang membolehkan (mubiih). Maka, hadits yang membolehkan lebih rajih daripada hadits yang melarang, sebab mengamalkan dua dalil adalah lebih utama daripada membatalkan salah satunya (i’maal ad-daliilayni awla min ta’thiili ahadihimaa) (Lihat Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, I/242-243; Saifuddin Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ihkam, IV/365-366).
Jika kaidah tarjih ini diterapkan, maka hadits Jabir (yang membolehkan daging kuda) adalah lebih rajih (kuat) daripada hadits Khalid (yang melarang daging kuda). Jadi, andaikata saja hadits Khalid tersebut tidak dhaif, tetapi hasan, seperti penilaian Imam As-Suyuthi, tetap saja ia merupakan hadits yang marjuuh (tidak kuat), yang tidak dapat diamalkan. Maka yang diamalkan adalah hadits Jabir yang menghalalkan daging kuda.
Kesimpulannya, makan daging kuda hukumnya adalah halal. Inilah pendapat yang rajih menurut pemahaman kami. Wallahu a’lam. [ ]
tulungagung, 31 okt. 2007
Abu Achmad Qowim Syibly Abu Arovah
mimtulungagung. wordpress. com
mimtulungagung. blogspot. com
CATATAN KAKI:
(1). Hadits mudhtarib adalah hadits yang diriwayatkan dengan redaksi (matan) yang berbeda-beda dan saling bertentangan yang sama kekuatannya, yakni tidak dapat dikumpulkan (jama’/tawfiiq) dan juga tidak dapat ditarjih (Lihat Mahmud Ath-Thahhan, Taysir Musthalah Al-Hadits, hal. 112; Imam Abul Hasan Al-Jurjani, Inti Sari Ilmu Hadits (Al-Mukhtashar fi Ushul Al-Hadits), hal. 42; M.M. Azami, MA, Ph.D, Memahami Ilmu Hadits, hal. 115-116; Fatchur Rahman, Ikhtishar Musthalahul Hadits, hal. 163).
(2) Tsiqat, adalah perawi yang memiliki sifat adil (tidak fasiq) dan dhabit (kuat hapalan) (Lihat Imam Abul Hasan Al-Jurjani, Inti Sari Ilmu Hadits [Al-Mukhtashar fi Ushul Al-Hadits], hal. 24).
(3) Hadits Munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dhaif, menyalahi apa yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (definisi Ibnu Hajar Al-Asqalani) . Definisi kedua, hadits munkar adalah hadits yang dalam isnadnya ada perawi yang banyak kesalahannya [dalam menyampaikan hadits], atau banyak kelengahannya [dalam menerima hadits], atau jelas kefasikannya (Lihat Mahmud Ath-Thahhan, Taysir Musthalah Al-Hadits, hal. 95-96; Fatchur Rahman, Ikhtishar Musthalahul Hadits, hal. 158-159).