Khuwaidimul Ma'had Ibnu Mas'ud langsung menjelaskan sebagai berikut:
Hukum Sate Kuda
Hukum sate kuda tergantung pada hukum daging kuda. Sedang daging kuda (lahm al-khayl) hukumnya halal. Di antara para ulama yang menghalalkan daging kuda adalah Zaid bin Tsabit RA, Imam Asy-Syafi’i, dua sahabat Imam Abu Hanifah (yaitu Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hasan), Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ishaq, serta jumhur ulama salaf dan khalaf (Lihat Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, IV/74).
Dalil halalnya daging kuda adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Jabir RA bahwa Rasulullah SAW pada Perang Khaybar (yauma khaybar) telah melarang daging-daging keledai jinak dan mengizinkan daging kuda (Lihat Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, IV/73; Syaikh Asy-Syarbaini Al-Khathib, Al-Iqna’, II/274). Dalil lainnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Asma` binti Abu Bakar Ash-Shiddiq, dia berkata,"Kami telah menyembelih seekor kuda pada masa Rasulullah SAW, lalu kami memakannya." (Muttafaq ‘alayh). Dalam satu riwayat, ada tambahan, "...sedang kami di Madinah." (Subulus Salam, IV/78). Kedua dalil ini dengan jelas telah menghalalkan makan daging kuda.
Tetapi, sebagian ulama mengharamkan makan daging kuda. Mereka adalah Imam Malik, Imam Abu Hanifah, ulama Al-Hadawiyah, dan pendapat yang masyhur di kalangan para ulama Hanafiyah (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, IV/73; Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, I/379). Dalilnya adalah hadits dari Khalid bin Al-Walid RA, bahwa Rasulullah SAW telah melarang makan daging kuda, baghal, keledai dan setiap binatang buas yang bertaring (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah. Lihat Imam As-Suyuthi, Al-Jami’ Ash-Shaghir, hal. 191; Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, IV/74).
Pendapat yang mengharamkan daging kuda ini lemah. Sebab banyak ulama yang tidak menerima hadits Khalid tersebut dan menganggapnya sebagai hadits dhaif (lemah), sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Imam Al-Bayhaqi mengatakan," Isnad [hadits] ini mudhtarib (1), menyalahi riwayat orang-orang yang tsiqat (2)," Imam Al-Bukhari berkata tentang dua perawi di antara para perawi hadits tersebut, yaitu Abu Shalih Tsaur bin Yazid dan Sulaiman bin Salim,"Perlu dipertimbangkan (fiihi nazhar)." Imam Ahmad, Ad-Daruquthni, Al-Khaththabi, Ibnu Abdil Barr, dan Abdul Haq mendhaifkan hadits ini (Subulus Salam, IV/74). Imam Ahmad dan lainnya mengatakan," [Hadits ini] munkar (3)." Sedang Abu Dawud mengatakan," [Hadits ini] mansukh (dihapus hukumnya)." (Syaikh Asy-Syarbaini Al-Khathib, Al-Iqna’, II/274).
Dengan demikian, karena hadits Khalid bin Al-Walid ini dhaif (lemah), maka hadits tersebut tidak dapat dijadikan dalil haramnya daging kuda. Namun andaikata saja hadits tersebut sahih atau hasan, sehingga dapat dijadikan dalil, maka harus dilakukan tarjih antara hadits Khalid bin Al-Walid ini yang melarang daging kuda dengan hadits-hadits Jabir dan Asma` yang menghalalkan daging kuda. Dalam hal ini, Imam As-Suyuthi menilai bahwa hadits Khalid bin Al-Walid adalah hadits hasan, sehingga layak dijadikan hujjah (dalil) (Lihat Imam As-Suyuthi, Al-Jami’ Ash-Shaghir, hal. 191).
Di antara kaidah tarjih dalam ilmu ushul fiqih; jika satu hadits melarang (naahi) sedang hadits lainnya membolehkan (mubiih), maka yang lebih rajih (kuat) adalah hadits yang membolehkan. Mengapa demikian? Sebab mengamalkan dalil yang melarang, akan menghilangkan pengamalan dalil lainnya (yang membolehkan) secara keseluruhan. Jadi di sini hanya diamalkan satu dalil saja (dalil yang melarang). Sedang mengamalkan dalil yang membolehkan, akan dapat sekaligus mengamalkan dua dalil, yaitu dalil yang membolehkan dan juga dalil yang melarang. Sebab, tujuan dari mengamalkan dalil yang membolehkan, adalah menta`wil adanya larangan dengan mengalihkan maknanya menuju pembolehan (ibahah). Padahal pembolehan itu sudah jelas ditunjukkan oleh dalil yang membolehkan (mubiih). Maka, hadits yang membolehkan lebih rajih daripada hadits yang melarang, sebab mengamalkan dua dalil adalah lebih utama daripada membatalkan salah satunya (i’maal ad-daliilayni awla min ta’thiili ahadihimaa) (Lihat Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, I/242-243; Saifuddin Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ihkam, IV/365-366).
Jika kaidah tarjih ini diterapkan, maka hadits Jabir (yang membolehkan daging kuda) adalah lebih rajih (kuat) daripada hadits Khalid (yang melarang daging kuda). Jadi, andaikata saja hadits Khalid tersebut tidak dhaif, tetapi hasan, seperti penilaian Imam As-Suyuthi, tetap saja ia merupakan hadits yang marjuuh (tidak kuat), yang tidak dapat diamalkan. Maka yang diamalkan adalah hadits Jabir yang menghalalkan daging kuda.
Kesimpulannya, makan daging kuda hukumnya adalah halal. Inilah pendapat yang rajih menurut pemahaman kami. Wallahu a’lam. [ ]
tulungagung, 31 okt. 2007
Abu Achmad Qowim Syibly Abu Arovah
mimtulungagung. wordpress. com
mimtulungagung. blogspot. com
CATATAN KAKI:
(1). Hadits mudhtarib adalah hadits yang diriwayatkan dengan redaksi (matan) yang berbeda-beda dan saling bertentangan yang sama kekuatannya, yakni tidak dapat dikumpulkan (jama’/tawfiiq) dan juga tidak dapat ditarjih (Lihat Mahmud Ath-Thahhan, Taysir Musthalah Al-Hadits, hal. 112; Imam Abul Hasan Al-Jurjani, Inti Sari Ilmu Hadits (Al-Mukhtashar fi Ushul Al-Hadits), hal. 42; M.M. Azami, MA, Ph.D, Memahami Ilmu Hadits, hal. 115-116; Fatchur Rahman, Ikhtishar Musthalahul Hadits, hal. 163).
(2) Tsiqat, adalah perawi yang memiliki sifat adil (tidak fasiq) dan dhabit (kuat hapalan) (Lihat Imam Abul Hasan Al-Jurjani, Inti Sari Ilmu Hadits [Al-Mukhtashar fi Ushul Al-Hadits], hal. 24).
(3) Hadits Munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dhaif, menyalahi apa yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (definisi Ibnu Hajar Al-Asqalani) . Definisi kedua, hadits munkar adalah hadits yang dalam isnadnya ada perawi yang banyak kesalahannya [dalam menyampaikan hadits], atau banyak kelengahannya [dalam menerima hadits], atau jelas kefasikannya (Lihat Mahmud Ath-Thahhan, Taysir Musthalah Al-Hadits, hal. 95-96; Fatchur Rahman, Ikhtishar Musthalahul Hadits, hal. 158-159).
No comments:
Post a Comment